Oleh: Donny Anggoro
Sejak kecil hingga dewasa saya penyuka cerita-cerita fiksi ilmiah, sampai beberapa film-filmnya yang kebanyakan dari Barat dengan macam-macam subgenre sci-fi saya tonton berkali-kali. Beberapa kawan menyebut saya “geek”—setelah sebelumnya, bertahun-tahun saya dirisak sebagai pengkhayal kelas wahid.
Satu alasan yang sulit saya tolak kenapa saya mengagumi cerita ataupun karya seni jenis itu buat saya adalah bahwa kisah tersebut selalu memberi saya semacam “peringatan” agar tetap mencintai alam dan manusia.
Ya, saya tak sedang ingin menceritakan sejarah saya sendiri tentang cerita fiksi ilmiah atau fantasi apa yang saya suka agar yang membaca tulisan ini paham. Saya hanya ingin mengungkap bahwa apa yang diciptakan berdasarkan fantasi pada akhirnya tidak menghasilkan sesuatu yang dianggap sekedar isapan jempol belaka. Berbagai cerita fantasi sampai saga yang dibuat orang Barat yang lebih saya akrabi sebagai cerita fantasi dan fiksi ilmiah yang antara lain mengangkat tema utopia dan dystopia, perlahan kini tampak nyata-senyata-nyatanya dalam wabah Corona yang sedang dialami masyarakat di seluruh dunia.
The Matrix, Surrogates, Ready Player One “mengajarkan” kepada kita bahwa pada hakikatnya manusia sangat membutuhkan fantasi dunia maya agar hidup ideal dalam benak masing-masing. Dunia virtual “digenjot” atau dieskploitasi sedemikan rupa guna menjaga kewarasan dan akal sehat manusia ketika masih bertahan hidup di Bumi yang sedang hancur lebur akibat perilaku destruktif manusia itu sendiri. Film Surrogates dengan fantasi ekstremnya menghadirkan manusia-manusia yang ingin tampil sesempurna mungkin –yang bisa jadi mereprentasikan kondisi sekarang manusia yang “kebelet” ingin tampil hebat meskipun hanya di dunia maya.
Ketiga film tersebut mungkin terlalu jauh dari kenyataan pandemi yang kini kita hadapi. Tapi, ketiga film tersebut buat saya terasa “menjadi dekat” karena dibuat berdasarkan perilaku masyarakat dunia digital sekarang yang “demi menjaga kewarasannya” berdiam di kamarnya saja-sementara hal di luar sana-biarlah tinggal A.I yang menyempurnakannya. Selama wabah Corona yang diharapkan masih hidup dan bertahan dianjurkan di rumah saja dengan melakukan kegiatan dengan bertumpu pada internet, realitas virtual, dan A.I sehingga aktivitas ber-sosial dapat tetap berjalan.
Film trilogi Mad Max, dan berlanjut pada Mad Max: Fury Road, menampilkan kondisi alam yang serba gersang nan panas. Seakan mengajarkan betapa bahayanya kita mengeksploitasi alam sehingga manusia-manusia dalam kisah tersebut antara “rela” dan “tega” saling membunuh hanya untuk mendapatkan air bersih. Ya, film-film karya George Miller itu tidak bicara soal virus macam Covid-19. Tapi, gambaran manusia di dalam itu bisa jadi mirip dengan gambaran manusia di zaman yang tengah kebingungan menghadapi serba ketidakpastian ini. Seperti gambaran dalam Mad Max, Anda bisa lihat sendiri keculasan dan ketamakan manusia di awal pandemi begitu jelas sehingga tega melakukan kekerasan.
Meskipun tidak terlalu kuat menggambarkan realitas distopia, jauh-jauh hari film Her (karya Spike Jonze, 2014) sudah mengajarkan kepada kita perilaku manusia yang menghambakan diri pada gawai. Paling tidak, Her memberi menggambarkan perubahan perilaku manusia yang menyimpang dengan gawai canggih mereka. Memang bukan gambaran apokaliptik ala The Matrix atau The Terminator.
Film Avatar menggambarkan keculasan manusia kepada bangsa baru di planet lain yang mirip Bumi, sedangkan film The Passenger menggambarkan spesies manusia, meski sudah punya otoritas mampu bermigrasi ke planet baru di luar Bumi, tetap saja egois dan mampu menyikut sesama.
Sebetulnya, fiksi ilmiah bukan hanya yang bersifat fantastik, atau fantasi saja. Ada juga sejumlah fiksi ilmiah yang dibuat berdasarkan realitas kita. Bahkan, ada yang “mulai dekat” dengan wabah Corona: kisah seperti The Outbreak, 93 Days, The Flu, sampai Contagion yang mengisahkan sebuah varian sangat mematikan dari virus SARS. O, ya, ada juga buku novel Indonesia yang penuh metafora yang saya rasa sebenarnya maksud si penulis adalah wabah SARS, yaitu novel Mata yang Malas karya FX Rudi Gunawan, Gramedia, 2002. Buku ini tak begitu jelas menceritakan perubahan perilaku manusia karena wabah penyakit akibat tertular SARS, melainkan ke dampak sosialnya. Ditutur dengan humor, penuh alegori bagaimana menjadi manusia yang selalu “ngawur”.
Pada film fantasi ada semacam “penyadaran” sebagai dampak eksploitasi alam juga manusia akhirnya supaya waras memanfaatkan demikian kuat teknologi virtual, AI, Big Data, dll di mana lainnya berupaya menciptakan harapan baru obat penangkal virus.
Film-film ini memberi gambaran kepada kita, bagaimana manusia kewalahan menghadapi epidemi di saat pengetahuan disaster management sampai riset ilmiah meredam virusnya pun belum selesai. Lantas apa yang bisa diperbuat di tengah wabah Corona, dengan “berkaca” kepada film-film tersebut yang bahkan tak diakhiri dengan “happy ending”? Tiada lain adalah bahwa manusia musti berpegang pada harapan –hanya harapan. Pun harapan bahwa dalam ketidakpastian kapan wabah Corona berakhir dan Anda bisa kembali beraktivitas seperti sediakala.***
2866 Kali