Jujur, terkadang saya memiliki perasaan sinis dan skeptis terhadap agama. Ini muncul ketika saya kadang merasa tidak aman selama menjadi penganutnya.
Banyak penghakiman, ancaman akan neraka dan dosa, kekerasan atas nama agama, pemanfaatan atas nama agama, dan bahkan pertanyaan soal agama yang tak pernah terasa dituntaskan. Selalu muncul pertanyaan dan pernyataan meragukan, bahwa apakah kebenaran yang saya yakini selama ini adalah kesimpulan dari segala macam perang antarwacana? Apakah semua ini hanyalah hasil dari sejarah penaklukan?
Untuk merasa demikian, saya masih saja merasa berdosa. Akankah saya menjadi kafir seperti yang digaung-gaungkan oleh kaum yang tampak salih? Maka, saya memutuskan: cukup dirasa, jangan disuarakan.
Keresahan dan pertanyaan saya soal agama akhirnya saya redam. Saya merasa bak pengecut dengan dada yang terus tersekat. Tapi, membaca kumpulan cerpen yang baru saja rilis dengan judul Memburu Muhammad (Penerbit Bentang Pustaka, 2020) karya Feby Indirani, merupakan oksigen baru untuk saya.
*
Buku dari Mbak Feby –begitu saya memanggilnya– tak bisa saya jadikan kategori bacaan ringan walau beberapa orang menyebutnya demikian. Membacanya kadang membuat saya termenung sebentar, antara harus berpikir dulu, membaca berulang, dan kemudian berkata dalam hati: ah, ini relate banget dengan kondisi gue sekarang!
Mbak Feby, dengan segala imajinasinya, menuangkan rasa resahnya akan kejanggalan, kekonyolan dan keraguan dengan cara yang cerdas dan tentu saja kreatif. Tentu bagi sebagian orang yang tak mau keyakinannya diguncangkan, ini akan melukai mereka. Tapi bagi orang seperti saya, ini sangat relevan. Bahkan akhirnya menjadi jawaban.
Bukan sekadar mempertanyakan, lewat cerpennya ini, Mba Feby seolah menawarkan alternatif beragama yang santai (relax, it’s just a religion …J), yang penuh kasih dan rahmat, bahwa ada cara beragama yang “tidak menakutkan”. Bahwa nilai yang dibawa oleh agama dengan spirit humanistik, menjadikan manusia menjadi individu yang lebih utuh.
Saya juga menyesal, tidak membaca buku ini dalam keadaan siap. Membaca buku ini membangkitkan banyak perasaan saya. Deg-degan karena adegan horor pada kisah “Suara Menggemparkan”, sebal karena kisah yang ada pada “Pengincar Perempuan Tuantu”, rasa sedih karena kisah “Kisah Cinta Azazil”, perasaan miris ketika membaca kisah “Laut, Ayah, dan Sang Putri”, senyum pada kisah menyenangkan yang ada pada “Dia Bertanya tentang Tuhan”, dan cerita serta perasaan lainnya.
Buku ini juga membuat saya merasa seperti membaca kisah dongeng 1001 malam. Fiksi yang sarat akan pesan moral. Membuat saya berpikir untuk menyimpan buku ini baik-baik agar kelak anak saya juga bisa membacanya ketika dia sudah bisa mempertanyakan keyakinan yang orangtuanya turunkan saat ini. Jika syukurnya keadaan sudah lebih baik dan kisah di buku ini tidak lagi relevan, setidaknya ia bisa menyaksikan sejarah saat membacanya nanti.
Tapi, saya agak sebal dengan beberapa kisah yang “kentang” (tanggung selesainya). Mungkin karena saya terbiasa dimanjakan dengan kisah-kisah yang selalu jelas ending-nya. Namun, pikir saya, mungkin Mbak Feby ingin pembacanya punya kebebasan untuk menginterpretasi sendiri akan kisah yang disajikannya. Mungkin dia ingin kita punya kebebasan untuk memikirkan bagaimana saja akhir kisahnya.
Jadi, selamat “memburu Muhammad” (begitu tulisan Mbak Feby di bagian tanda tangan basahnya).***
Adinda Nurrizki, ibu satu anak yang saat ini juga bekerja sebagai copy writer, freelance content writer, dan perintis usaha.
2189 Kali