Oleh: Raka Sugarda
Kebosanan adalah emosi yang kuat, di satu sisi bisa membuat kita kesal, cemas, dan sedih, tapi bisa membuat kita penasaran untuk menjelajahi lautan informasi yang kita sebut dengan internet. Di zaman karantina seperti sekarang, setiap hari adalah hari yang sama dan mengikutkan rutinitas yang serupa, tentu sangat membosankan. Saya sudah menghabiskan banyak waktu nonton film, baik melalui Netflix, atau YouTube, dan lain-lain.
Saya tiba-tiba sadar, bingung, dan bertanya kepada diri sendiri, “kenapa saya selalu nonton film barat?” dan “apakah tidak ada film tanah air yang bagus?” Tentu ada dan sangatlah banyak. Ketika saya sedang mencari film Indonesia yang bagus, yang layak ditonton, saya berhenti dan di belakang kepala saya, terpikir sejenak sejarah film Indonesia. Suara hati kecil itu yang sangat penasaran muncul lagi dan bertanya: “Film pertama Indonesia, apa, yah?”
Saya sangat suka dengan sejarah karena kita bisa belajar dari masa lalu, dan melihat perkembangan sesuatu dari awal sampai sekarang. Tanpa sejarah kita tidak bisa berubah dan menyesuaikan diri kita kepada masa depan.
Setelah menonton film pertama di Indonesia, Darah dan Doa (1950) karya, Usmar Ismail saya tersenyum, dan berpikir kepada diri saya sendiri, film ini dibuat dengan baik, mengingat zaman apa waktu itu. Kemudian saya berpikir lagi, bahwa tidak mungkin Usmar Ismail mempelajari film dengan sendirinya tentunya dia mempunyai guru selain Andjar Asmara. Masuklah tokoh sang jenius yang tidak dikenang ini.
Pengaruh sang jenius ini sangat terlihat di kalangan awal filmmaker Indonesia, dia meninggalkan warisan yang cukup luas dan berkontribusi banyak ke sinema Indonesia. Bisa dibilang tokoh ini setara pentingnya dengan sang Usmar Ismail.
Tokoh yang saya bicarakan adalah Dr. Huyung. Beliau punya berbagai nama dan alias. Nama aslinya adalah Hue Yong tetapi juga dipanggil Hae Young. Dia lahir di Korea pada bulan September 1908. Kemudian beliau pergi ke Jepang untuk mempelajari filmmaking. Dia melihat secara langsung bagaimana Jepang bisa menghancurkan mindset, spirit, dan kebudayaan tanah air. Hue Yong dipaksa menjadi seorang tentara jepang yang dikirim ke Hindia Belanda untuk membantu Jepang. Lalu karena terpaksa Hue Yong mengubah namanya menjadi Eltaro Hinatsu.
Setelah Hindia Belanda merdeka dan menjadi negara Indonesia, Hinatsu tidak dapat pulang ke Korea dan dia tinggal di Indonesia, mengganti nama menjadi Dr. Huyung.
Kehebatan dari Dr. Huyung adalah, beliau bisa mempengaruhi penonton untuk merasakan berbagai macam emosi. Dia filmmaker yang efektif menyampaikan pesan. Dr. Huyung bisa dibilang sudah berhasil mastering teknik propaganda. Dia diajarkan oleh Jepang bagaimana film bisa mencabut identitas seorang, dan mengubah citra mereka.
Kimi to Boku yang berarti Aku dan Kau adalah film propaganda yang dibuat oleh Dr. Huyung pada dasarnya dibuat untuk merekrut orang Korea sebagai tentara Jepang. Cerita dari filmnya adalah seorang pemuda Korea yang sangat loyal kepada Jepang rela untuk pergi ke medan perang. Setelah perang pemuda Korea tersebut kembali ke tempat tinggalnya kemudian bertemu dengan seorang perempuan Jepang yang tinggal di korea. Sedikit demi sedikit mereka jatuh cinta. Akhirnya pemuda menyanikan lagu Korea yang indah.
Film ini tidak seperti film propaganda pada umumnya. Cara penyampaian indoktrinasi berbeda dengan film-film lain pada masa itu. Apa yang bikin dia hebat? Dr. Huyung memasukkan unsur drama. Jadi, di filmnya, ada cerita, alur, konflik, karakter, resolusi, dan struktur.
Pada dasarnya dia memasukan ide kedalam otak penonton tanpa diketahui, diterima secara tidak sadar, subconsciously. Elemen seperti protagonist tangguh, adegan tegang, adegan perang relistik, dan percintaan (romance) itu termasuk arsenal senjata Dr. Huyung. Menurut Chizuru Usui (asisten curator dari NFC Jepang). Pada tahun 1940-an film propaganda Jepang sangat blak-blakan, frontal. Hanya mengedukasi dengan narasi dan menancapkan ideologi secara kasar.
Dalam Kimi to Boku, secara eksplisit penonton mengira mereka nonton drama percintaan, tetapi dalam alam bawah sadar (secara implisit) mereka berpikir bahwa Jepang dan Korea bisa bersatu untuk menaklukan Asia Tenggara. Dr. Huyung memainkan “kolonisasi psikologis” dengan menanamkan propaganda Jepang secara halus.
Dr. Huyung memasarkan Kimi to Boku sebagai film percintaan. Dia memakai aktor Jepang dan Korea yang waktu itu cukup terkenal. Film ini sukses dari segi finansial.
Dr. Huyung, menurut filmindonesia.or.id, setelah Jepang menyerah, terpaksa menetap di Indonesia. Tapi dia tidak berdiam saja. Beliau menularkan pengetahuan film (dan teater)-nya kepada anak bangsa di Yogya. Termasuk kepada Soemardjono dan Usmar Ismail (dari tahun 1921 sampai tahun 1971). Ini juga termasuk salah satu pengaruh Dr. Huyung yang sangat besar kepada sinema Indonesia, yaitu dengan mengajar para sineas muda negara baru Indonesia. Dr. Huyung meninggalkan sebuah kriteria yang harus dipenuhkan oleh sutradara di masa depan jika mereka ingin mempunyai film yang dramatis, yakni standar struktur dramatik untuk sebuah film cerita/drama.
Kita ambil contoh film zaman sekarang, seperti Merah Putih tahun 2009 yang disutradarai oleh Yadi Sugandi: film ini adalah film perang yang menceritakan perjuangan prajurit Indonesia yang melawan tentara belanda dengan seadanya. Teknologi Belanda jauh lebih canggih dibandingkan senjata-senjata Indonesia, tetapi melawan segala rintangan protagonis kita berhasil mengalahkan penjajah belanda dengan menggunakan taktik gerilya yang pintar. Film ini ingin menyapaikan pesan bahwa “otak mengalahkan otot”.
Jika diperhatikan baik-baik, film ini membesar-besarkan nama baik Indonesia dengan cara menggambarkan (dari segi cerita dan visual) betapa pintar tentara Indonesia. Meskipun pada aslinya, belum tentu begitu. Mungkin tentara Indonesia merasakan lebih banyak kekalahan daripada kemenangan. Film ini bisa dibilang propaganda halus karena unsur politik terhadap Belanda dan menimbulkan rasa nasionalisme.
Teknik Dr. Huyung dipakai di dalam film ini, jauh setelah beliau meninggal dunia. Merah Putih tidak secara explicit menyebutkan “Indonesia hebat dan bisa mengalahkan Belanda yang lebih kuat”, tetapi Yadi Sugandi menggambarkan pesan tersebut melalui karakter protagonist tangguh, adegan tegang, adegan perang relistik, dan percintaan. Itu semua adalah termasuk elemen-elemen film seorang Dr. Huyung.
Pengaruh Dr. Huyung juga bisa kita lihat dalam film-film karya Usmar Ismail, yakni kecedenderungannya untuk membuat ‘film hiburan’ yang menarik bagi khalayak Indonesia. Film seperti Darah dan Doa membuat orang yang nonton merasakan nasionalisme. Sampai titik tertentu, teknik itu sedikit dicontoh dan terpengaruh dari unsur-unsur teknik propaganda halus. Dr. Huyung adalah filmmaker pertama yang memperkenalkan elemen pembuatan film tersebut kepada Indonesia. Usmar Ismail terinspirasi oleh Dr. Huyung. Unsur drama, konflik, adegan perang, protagonis tangguh, dan percintaan hadir di film Darah dan Doa, dan juga menjadi panutan bagi banyak filmmaker Indonesia.
Mari kita analisa Darah dan Doa lebih dalam. Film yang dianggap secara resmi adalah film pertama Indonesia ini menceritakan seorang prajurit Indonesia jatuh cinta kepada seorang gadis Jerman yang bertemu di tempat pengungsian. Ada unsur ras, lebih spesifiknya unsur cinta antar-ras dan juga negara. Tema “cinta terlarang” hadir dan direpresentasikan lewat dua karakter utama. Film Kimi to Boku juga ada unsur-unsur yang baru disebutkan, dan dibuat lebih dulu dari Darah dan Doa.
Pada zaman perang dunia kedua Jepang menjajah Korea dan hingga sekarang orang etnis Korea masih sedikit dendam. Di film Kimi to Boku, seorang prajurit Korea jatuh cinta dengan gadis Jepang. Menyampaikan pesan bahwa meskipun berbeda ras dan nasionalitas, masih bisa bercinta dan hidup berdampingan, mirip dengan film Usmar Ismail. Banyak sekali parallel film Kimi to Boku dengan Darah dan Doa mulai dari cerita, karakter, pengambaran sebuah negara, dan pesan yang ingin disampaikan. Sangat jelas terlihat bahwa Usmar mengambil ajaran dari Dr. Huyung.
Tapi, kadang warisan seseorang tidak sepenuhnya bagus. Sensor film di Indonesia juga dipengaruhi oleh tingkah laku dan ekspresi artistik dari Dr. Huyung. Menurut filmIndonesia.or.id, pada 1951, Huyung membuat tiga film lain, Gadis Olahraga, Kenangan Masa dan Bunga Rumah Makan. Tadinya, dalam film Antara Bumi dan Langit akan dimasukan sebuah adegan ciuman. Tapi, reaksi masyarakat waktu itu sebegitu keras sehingga terpaksa diadakan perubahan, dan beredar dengan judul baru yaitu: Frieda.
Adegan cium (dan seks) baru “ramai” dan dibahas secara dalam mulai tahun 1970-an. Karena Dr. Huyung, sensor di Indonesia sempat mejadi lebih ketat. Walau begitu, ada sebuah keuntungan: karena peristiwa itu, para pembuat film setelah beliau jadi tahu apa saja yang boleh ditunjukkan ke penonton dan apa saja yang tidak boleh atau “taboo”.
Jasa filmmaker ini sangat tersia-siakan oleh karena masyarakat Indonesia yang tidak banyak tahu tentang sejarah Dr. Huyung, yang kehidupannya juga bisa dibilang sangat tragis, karena dilupakan oleh Indonesia, negeri yang ia pilih saat Jepag kalah untuk menetap dan berkarya.***
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Film Binus University. (rakasugarda18@gmail.com)
Bacaan:
Bastari, Gema. "Huyung, Tragedy, And Hope" ARKIPEL, 2017.
"Hinatsu Heitaro". Filmindonesia.or.id, 2010.
Hutari, Fandy. "Seputar Stichting Hiburan Mataram". Jurnal Footage, 2017.
Setiyono, Budi. "Guru Para Sineas". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama Di Indonesia, https://historia.id/kultur/articles/guru-para-sineas-PG026.
Setiyono, Budi. "Di Negeri Penjajah". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama Di Indonesia.
2355 Kali