Komedi segar tentang korban penipuan biro perjalanan haji bodong.
Film ini menceritakan hubungan Edi (Rizky Nazar) dan Eni (Michelle Ziudith) yang terancam kandas, lantaran Eni akan dijodohkan dengan saudagar kaya Pietoyo (Dwi Sasono). Berkat saran Ibunya (Ria Irawan), Edi berhasil merayu orang tua Eni, Pak Soleh (Totos Rasiti) dengan mengatakan akan berangkat Haji “tahun ini”. Janji “siap naik Haji” mampu meningkatkan status sosial Edi yang sekian lama dicap Pak Soleh “anak muda sontoloyo penghasilan pas-pasan”, meskipun Edi punya usaha sendiri membuka bengkel –yang memang gagal.
Faktanya, untuk mendapatkan kuota visa Haji resmi, Edi diharuskan mengantre selama 10 tahun. Saat Edi kalut, dia dibujuk seseoang untuk mengambil jalur kilat dari salah satu Agen Travel Haji yang mengiminginya dengan biaya perjalanan lebih murah dan “direstui” Raja Arab! Sebagai modal, Edi menjual bengkel turun-temurun tempat ia mengais rejeki. Layaknya pergi berperang, Edi bikin pesta diiringi warga desa bersukacita melepas kepergiannya berangkat ke tanah suci. Sesampainya di Jakarta untuk transit, Edi baru menyadari ternyata ditipu Agen Travel Haji abal-abal.
Dalam kebimbangannya, Edi harus menyembunyikan hal ini dari siapa pun, dengan berpura-pura naik Haji. Dikirimnya kepada Eni foto-foto hasil editan seolah Edi sudah di Mekah. Bersama temannya yang juga kena tipu, Fajrul (Ephy Pae), Edi menunggu waktu yang tepat untuk pulang kampung, agar terlihat seperti benar-benar naik haji dan bisa segera menikahi Eni. Beruntung, agar tak luntang-lantung di Jakarta ia ditampung salah satu keluarga yang ternyata juga korban penipuan Agen Travel Haji yang sama, Pak Rojak yang berwiraswasta membuka toko busana muslim.
Sampai di sini sutradara berhasil mengecoh penonton dengan beberapa kemungkinan apakah Eddy bisa menikahi Eni dan tak ada yang mengetahui rahasianya, atau malah menjalani hidup baru bersama keluarga Pak Rojak di kota besar?
Ide film ini cukup segar dan kontekstual, begitu jeli fokus pada korban penipuan Agen Travel Haji bodong. Belum lepas dari ingatan publik, mencuatnya kasus First Travel dan Abu Travel beberapa waktu lalu. Lantas, film ini tak berusaha menjadi semacam “petuah moral” agar penonton “waspada” terhadap Agen Travel Haji bodong. Ia memang mentertawakan tapi tak lantas berpanjang mengetengahkan melulu aneka ragam kesialan-satu dari “resep” utama kebanyakan film komedi Indonesia. Singkatnya, ia juga mengetengahkan perjuangan para tokohnya (Edi) sebagai wakil masyarakat kampung di kota tatkala bertahan hidup-sampai memperjuangkan kebenaran kepada Eni dan warga kampungnya setelah ditipu.
Keberhasilan sutradara dan penulis cerita Jeihan Angga mengingatkan kita pada pesona film komedi kritik sosial karya Nya Abbas Akup era 1980-an Inem Pelayan Seksi (1977), atau Ucik Supra lewat Badut Badut Kota (1990).
Meski menuai pujian di ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada 21 November 2019, entah kenapa film ini tak masuk nominasi film terbaik FFI 2020. Film ini hanya dapat dua nominasi untuk aktris pendukung Ria Irawan (yang wafat Januari 2020) dan Totos Rasiti. Padahal, jika masuk nominasi kansnya cukup besar bersaing dengan komedi kritik sosial juga, yakni: Imperfect (2019).
Bahkan film ini lebih jeli mendalami persoalan carut-marut problem relasi kampung dan kota daripada Mudik (2020), misalnya. Memang, Mudik bukan komedi. Tapi, Mudik mencoba menggambarkan juga manusia kampung. Gambaran yang kalah otentik daripada film ini. Juga, problem urban “orang desa berjuang ke kota” di film ini tak berlama-lama menjadi potret kekonyolan semata seperti dalam Guru Guru Gokil (2020).
Kredit lain yang perlu dicatat buat saya adalah penampilan khusus komedian senior Yati Pesek eks Srimulat yang mampu memukau walau dengan dialog singkat! ***
Donny Anggoro
2639 Kali