Bernegara di Dunia Internet
Bernegara di Dunia Internet

Ilustrasi foto diunduh dari Kaskus.co.id.


Kolom: Hikmat Darmawan




Internet seperti kantong ajaib: (seakan) apa saja ada di situ. Itulah mengapa, kita lihat sejak awal 2000-an, banyak warnet (warung internet) menjamur di Depok. Sebagian, buka sampai 24 jam. Banyak yang dijanjikan dari balik kotak monitor di dalam bilik-bilik warnet itu. Misalnya, yang sekarang sedang jadi kegandrungan sebagian orang, kita bisa menemukan berbagai produk budaya dari masa silam.


Lagu-lagu lama yang sudah lama tak diproduksi lagi. Mulai lagu keroncong dari masa sebelum Perang Revolusi, sampai lagu-lagu 1980-an berbagai aliran. Lagu dangdut, lagu-lagu pop cengeng keluaran para ”artis JK Records” yang sempat disorot oleh Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, sebagai ”lagu-lagu cengeng”. Lagu-lagu parodi dari PSP atau Warkop Dono-Kasino-Indro. Petikan film-film kita di masa lalu. Bahkan pidato Bung Tomo dan ”klip video” lagu Indonesia Raya versi awal pada 1940-an.


Belum lagi berbagai pengetahuan dari yang paling abstrak hingga yang paling praktis (bagaimana menanam bonsai atau menggambar wajah). Tentu, ada saja dampak negatif seiring keajaiban-keajaiban itu. Pornografi, misalnya. Sejak masa internet lah, misalnya, kaum pedofil (pencabul anak-anak) di seluruh dunia membangun jaringan mereka. Tapi, lewat bantuan internet pula, polisi dari berbagai negara yang membentuk gugus tugas bersama berhasil membongkar jaringan itu. 


Soal pornografi yang “umum”? Memang internet memberi begitu banyak kemudahan untuk itu. Bahkan, pornografi di internet tumbuh menjadi industri tersendiri yang sangat besar. Tapi, walau memang sukar, banyak pengamanan dilakukan. Di warnet-warnet Depok sendiri, yang mulanya rawan terhadap penyalahgunaan, kini dilakukan berbagai pengamanan. Pemerintah pun berupaya membatasi, termasuk dengan memblokir situs-situs porno yang mereka tahu. Walau, kita tahu, sukarlah bagi pemerintah membatasi serbuan bandang informasi lewat internet, termasuk serbuan pornografi itu, tapi syukurlah upaya itu masih dilakukan.


Dunia internet memang adalah dunia keberlimpahan dan dunia jaringan. Keberlimpahan informasi, dan peluang membangun jaringan dengan keberlimpahan informasi itu. Di samping godaan, internet juga membuka pintu-pintu peradaban yang dulu tertutup bagi kebanyakan orang. Banyak sekali komunitas tumbuh di internet. Orang-orang yang dulu punya hobi secara sendiri-sendiri, kini bisa membangun jaringan pertemanan dan komunitas. 


Mulanya, komunitas-komunitas itu memang maya. Lama-kelamaan, banyak hal kongkret bisa dilakukan. Misalnya, komunitas penggemar Karl May, penggemar gitar, kolektor komik, penyuka distro, pengikut kajian hadis, pekerja desain, bahkan bisa juga kelompok-kelompok tani macam kelompencapir –jika saja akses internet juga dibuka ke desa-desa. Kemungkinannya sungguh luas. Dan relatif murah. 


Lihatlah kota Yogyakarta, yang menciptakan suasana akses internet serbamurah. Banyak local genius mereka yang kini berkiprah di aras nasional bahkan internasional, semata bersenjatakan internet. Para seniman dan penulisnya, misalnya, tak kesulitan untuk mencari data sebanyak-banyaknya, sekaligus menebarkan “pesona” mereka ke seluruh dunia, melalui email dan blog (semacam situs pribadi yang bisa digunakan sebagai diary atau “majalah” pribadi). 


Mau tak mau, keadaan ini akan memengaruhi cara kita berbangsa dan bernegara. Dalam keadaan akses informasi melimpah dan meluas, masyarakat akan menguat di hadapan negara. Negara, nantinya, akan tak senyaman dulu dalam memancangkan kekuasaannya. Di Amerika saja, kini, setiap pelaku politik sejak kandidat “pilkada” hingga kandidat presiden mereka harus selalu punya divisi yang mengurusi “perang informasi” di internet. 


Tumbuh pula citizen journalism, jurnalisme warga (yang tak harus bergantung pada media besar yang dicurigai terlalu banyak menyimpan kepentingan), melalui berbagai blog dan situs yang kini tak lagi bisa diabaikan atau diremehkan. Dengan kata lain, semakin banyak warga yang mampu memberi suara tak hanya sekadar lewat bilik-bilik pemilu. Mestinya, hal ini bisa membuat suasana kebangsaan yang lebih baik. Mestinya.***

23 Maret 2015
Dilihat sebanyak
5621 Kali
Lainnya...
FANTASI, CORONA, DAN YANG KITA PELAJARI DARI FILM SCI-FI
FANTASI, CORONA, DAN YANG KITA PELAJARI DARI FILM SCI-FI
MEMIKIRKAN INDUSTRI KOMIK KITA (1): ANTARA PASAR DAN SENI
MEMIKIRKAN INDUSTRI KOMIK KITA (1): ANTARA PASAR DAN SENI
Mati
Mati
 1 2     >>>
Pabrikultur © 2015