Cedera Demokrasi, The Social Dilemma dan The Great Hack
Cedera Demokrasi, The Social Dilemma dan The Great Hack

Oleh: Donny Anggoro

 

Saya bersyukur, Netflix memproduksi dua film dokumenter The Social Dilemma dan The Great Hack. Selain mengupas habis dunia yang telah berubah cepat akibat perkembangan teknologi informasi, film-film itu juga memuat semacam “pengakuan dosa” dari orang-orang yang pernah mengembangkan dan bekerja di berbagai platform digital di Facebook, Instagram, Twitter, Pinterest, You Tube, pun Google, dan sebagainya.

Kesan “pengakuan dosa” itu muncul karena tampak bahwa setelah sekian lama, mereka sendiri tak pernah menyangka dampaknya akan terjadi seperti ini: berawal dari menciptakan sarana agar tiap orang dapat terhubung atau memudahkan alur pekerjaan yang dilakukan jarak jauh, kemudian malah banyak dampak yang terasa mengerikan. Salah satunya, bisnis jual-beli data pengguna medsos dalam kerangka bisnis big data yang kini hampir sama nilainya dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi. Bisnis yang kini terasa lumrah terjadi tanpa Anda sadari tatkala gawai setia di dekat Anda.  

Masih segar dalam ingatan kita, terutama ketika pandemi mulai menyebar Maret 2020, karena kegiatan sosial manusia dibatasi, kebanyakan kita ramai-ramai menggunakan platform diskusi daring Zoom. Berbekal dari kenyataan yang pernah ada dalam platform digital sebelumnya, Zoom lama-lama juga dituding menjualbelikan data penggunanya, meskipun mereka membantah sembari terus berupaya memperbaiki layanan aplikasinya.

Tema dampak internet dan media sosial sebetulnya sudah banyak dibahas. Misalnya, dalam The Death of Critic (Ronan Mc Donald), The Death of Expertise (Tom Nichols), The Death of Truth (Michiko Katutani) yang fokus kepada dampak sosial dari teknologi informasi. Kita juga bisa menangkap pesan moral dari kisah fiksi ilmiah Arthur Clarke, Phillip K. Dick, film-film Spielberg Ready Player One, atau Terminator (James Cameron), The Matrix, sampai Her karya Spike Jonze. Beda dari karya-karya itu, The Social Dilemma dan The Great Hack adalah laporan jurnalistik senyata-nyatanya dari para pelaku maupun tokoh industri platform digital dan big data itu sendiri, bukan lagi hasil impresi, observasi, refleksi, pun imajinasi sineas film fiksi ilmiah.

Memang keduanya mirip, sama-sama mengangkat tema dampak digital lifestyle. Perbedaannya adalah: The Social Dilemma beranjak dari awal mula pengembangan platform digital dan media sosial dari dalam perusahaan medsos itu sendiri (Facebook, Instagram,dll.). Sedangkan The Great Hack langsung  menukik pada persoalan serius, yaitu bagaimana big data dapat diolah sedemikian rupa sehingga dapat memengaruhi pemilihan Presiden di Amerika, referendum Brexit di Inggris, pemilu di Rusia, India, pun juga negara kecil macam Trinidad, dan Tobago.

The Social Dilemma mengangkat betapa terpukaunya orang-orang seperti  Tristan Harris dan Joe Toscano, desainer Google juga Sandy Parakilas manager operasional Facebook juga Uber. Yang menarik, film ini menampilkan Jaron Leiner, ahli komputer dan pencipta teknologi Virtual Reality, yang sampai film ini diedarkan sedang giat berkampanye sambil menggelar diskusi buku Matikan Media Sosialmu (!). Mereka bertutur panjang tentang apa yang mereka kerjakan sejak semula dalam mengembangkan Google dan Facebook yang semula hendak menghubungkan manusia di berbagai tempat. Pada akhirnya mereka juga ikut serta dalam acara-acara seminar psikologi, bahkan bertemu dengan dokter syaraf karena platform yang mereka kembangkan bermaksud mengembangkan banyak kemungkinan yang terjadi setelah penemuan telepon pintar, yaitu mengubah kebiasaan orang.

Semua akses macam Gmail, Google, Facebook, Twitter lambat laun tersedia atau sangat mudah diakses di semua merk telepon pintar jenis android sehingga hubungan antara pelbagai platform tersebut cukup tersedia dalam satu alat yang praktis.

Mungkin jika  Anda hanya melihat wawancara mereka saja akan sulit dimengerti paparan “pekerjaan sekumpulan orang umur 25-35 tahun yang akhirnya mengubah dunia” sehingga sutradara Jeff Orlowski dan tim penulis skrip Davis Coombe, Vicki Curtis, perlu memvisualisasikan penjelasan mereka dengan animasi dan perumpaan bahwa Anda sebagai pengguna Facebook sebagai salah satu contoh, mirip boneka Voodoo yang siap menerima notifikasi yang sudah dirancang sedemikian rupa.

“Jika Anda tidak membeli produk, Andalah produk itu sendiri!” demikian kata Tristan Harris, salah seorang desainer Google. Ungkapan itu ada di The Social Dilemma, yang buat saya seperti semacam ‘kredo’ apa yang terus dikembangkan digital lifestyle dan diwujudkan pula di banyak perusahaan pengembang aplikasi hari ini. Ungkapan ini bak mata pisau, bisa berguna sekaligus mencelakakan.


“Internet gratis, padahal tidak sepenuhnya gratis, karena Anda harus berlangganan satu paket tertentu yang sudah dilengkapi modem. Lalu Anda memiliki laptop juga ponsel yang sudah pasti Anda membelinya. Lalu bagaimana kami mengolahnya dari data pembuat akun Gmail, Facebook, dan Instagram. Perilaku Anda sehari-hari Anda suka ini tidak suka itu Anda klik ini klik itu lah yang kami kembangkan intinya pengguna harus selalu terhubung terus dengan gawainya!” kata Sandy Parakilas (Facebook) dan Joe Toscano (Google) sampai tercetus pernyataan bahwa komoditi panas dewasa ini tak lain adalah sikap manusianya sendiri yang terekam dalam jejak digital di Google, Facebook, atau Instagram. Ketiganya, celakanya, adalah platform digital paling populer dan terbanyak pemakainya. Joe Toscano bahkan mengakui bahwa ia sendiri sempat kecanduan gawai. Hidupnya melulu memantau terus laptop dan ponselnya hingga melupakan keluarga.

Dalam The Great Hack, terutama dalam wawancara dengan Brittany Keiser, Cambridge Analyctica, lembaga konsultan politik  (yang semula ingin dirahasiakan identitasnya, namun akhirnya mau juga membuka diri), Anda dihadapkan langsung pada contoh yang media sosial berpengaruh dalam kehidupan politik. Terutama bagaimana data Anda di berbagai tempat diolah sehingga apa dan siapa pemilih kandidat tertentu sampai peristiwa kekerasan yang terjadi belum lama ini seperti rasisme di Amerika bisa diperjualbelikan. Mengenai kiprah lembaga Konsultan Politik Cambridge Analyctica, sebenarnya tak beda jauh dengan lembaga manapun, namun menjadi masalah ia terlibat penjualan big data, sehingga mampu memenangkan Presiden AS Donald Trump.

Perseteruan panas antara masing-masing simpatisan partai demokrat dan republik notabene memengaruhi pemilihan Presiden AS lewat, salah satunya, kampanye digital yang pernah dilakukan dari tim Cambridge Analytics. Adalah Paul-Olivier Dehaye, orang dalam Cambridge Analytica sendiri, yang membuka kasus ini. Akibat pengakuan Dehaye, pada 2016, Mark Zuckerberg diseret ke kongres. Dan, sebagai pencipta dan pengembang Facebook, Zuckerberg tak bisa dituding sepenuhnya karena dia dan timnya hanya menyediakan platform yang bebas digunakan siapa saja walau di pengadilan, dia didesak apakah ada orang dalam Facebook sendiri terlibat penjualan big data bersama Cambridge Analytica.

Tentang dampaknya di Indonesia, kurang lebih mengingatkan kita pada Pilkada 2017 lalu, ketika akhirnya tim Facebook menciptakan fitur yang bermaksud menyaring berita bohong sehingga publik dapat melaporkan bahwa ada kiriman bernada rasis, konten seksual, atau kekerasan yang semula bebas berkeliaran di Facebook. Paling tidak, politik adu domba “divide et empera” yang terjadi di Indonesia terutama saat Pilkada Jakarta adalah salah satu dampak sosial yang disebabkan demikian aktifnya menggunakan medsos sebagai “perang”. Setelah Facebook berkantor di Jakarta, Indonesia mulai bekerja sama dengan berbagai lembaga media daring kampanye mencegah hoax.

The Great Hack membahas masalah yang lebih dari sekadar penyebaran hoax atau berita palsu, tapi lebih-lebih lagi, masalah permainan bisnis jual beli data tak terhindarkan sebagai “tambang emas” perusahaan digital saat ini, senada seperti yang dikatakan Aza Raskin, salah satu pengembang Mozilla dan Firefox, dan Roger McNamee, salah satu investor Facebook, dalam The Social Dilemma.

Sesuai judul, The Social Dilemma akhirnya menyimpan kecemasan dan dilema yang muncul dalam diri Tristan Harris dan Joe Toscano (desainer Google), Bailey Richardson (Instagram), Sandy Parakilas (Facebook, Uber), dan Jaron Leiner. Perubahan dan dampak sosial yang tengah terjadi, misalnya penyebaran berita palsu yang menyebabkan orang saling bunuh dan baku hantam, depresi karena tidak dipuji sebagai orang cantik, tampaknya terkait dengan kreasi dan pekerjaan mereka di masa awal media sosial. Dalam kehidupan pribadi, mereka lantas menerapkan hal yang mungkin mengejutkan kita, yaitu mereka tidak mengizinkan anak-anak mereka sendiri yang masih bocah punya ponsel dan sosmed! Tim Kendall dari Facebook malah membatasi anaknya sendiri hingga umur 16 tahun baru boleh bikin akun sosmed!

Jaron Leiner, pencipta Virtual Reality malah lebih keras, sambil menulis, menerbitkan buku dan menggelar diskusi bukunya di banyak tempat ia berseru lantang, matikan saja medsosmu ….dunia di luar sana lebih indah!

Lewat kedua film ini, terasa seolah demokrasi saat ini yang masih diartikan secara harafiah sebagai “bebas apa saja”, tercederai. Jika kita mengacu pada kondisi di Indonesia, terasa juga gejala itu: kita bebas mencaci pejabat negara, atau sebaliknya memuji bak “dewa”, dan kebebasan itu menjadi cedera tatkala jejak digital Anda dapat diolah sedemikian rupa menjadi traffic yang menguntungkan kepentingan politik yang merugikan.***

 

Donny Anggoro, penulis, direktur toko buku dan musik online Bakoel Didiet dan Roundabot Music Blok M Square, Jakarta.
17 Oktober 2020
Dilihat sebanyak
3454 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015