Setelah berkutat lebih banyak pada segi kesenian dan budaya dari komik, mau tak mau saya sering berjumpa juga dengan segi industri dari komik. Malah, kini jelaslah bagi saya, bahwa dunia komik adalah salah satu contoh betapa berkelindannya hal-hal kesenian dan hal-hal keindustrian.
Tapi, ada baiknya sesekali kita mengungkai persoalan segi-segi itu dengan berangkat dari sebuah pemisahan. Dengan kata lain, misalnya, menyigi segi industri dengan melepasnya dulu dari segi kesenian dan kulturalnya. Pemilahan ini untuk memudahkan fokus pada aspek yang perlu dibicarakan: bagaimana membangun industri yang lebih kukuh untuk menyangga salah satu produk kebudayaan terpenting ini di Indonesia.
1. DALAM INDUSTRI, KOMIK ADALAH PRODUK YANG HARUS DIPASARKAN
Kalau bicara industri, kita bicara produk, produksi, dan
distribusi. Pasti ada yang menambahkan: marketing,
pemasaran. Pemasaran tidak sama dengan selling
(penjualan). Pemasaran bisa amat diperlukan, bisa tidak. Penjualan, mutlak
diperlukan. Nah, soal distribusi lebih dekat ke soal penjualan tersebut.
Komik sebagai produk pastilah mengandung adanya pemagaran.
Kata “produk”-lah yang menyiratkan pagar dan pakem-pakem pada suatu karya. Pakem
yang paling dasar adalah: sebuah karya harus laku, laris, bisa dijual dan akan
dibeli. Makin banyak dibeli, makin bagus. Dalam ilmu pemasaran, ada istilah 4
P. “Product” adalah “P” pertama.
(Yang lainnya: Pricing (pemberian
harga), Placing (penempatan
pasarnya), Promotion.) Dalam teori
ini, pemasaran telah dimulai dari saat memutuskan produk apakah yang akan
dijual. Produk harus bisa dijual. Produk yang jelas tak bisa dijual, tak akan
diproduksi. Titik.
Komik apa yang bisa jadi produk yang diterima banyak orang? Setiap
zaman pasti akan memberi jawaban berbeda-beda. Pada 1950-1960-an, jawabnya
adalah komik legenda, terutama komik wayang. Akhir 1960-an-1970-an: komik roman
dan komik silat. 1980-an sebetulnya mulai tak jelas jenis produk komik apa yang
diterima mainstream pasar kita. Tapi produksi dan distribusi komik lokal masih
jalan. Komik wayang, komik silat, komik fantasi masih dicetak ulang;
komik-komik baru masih diterbitkan. 1990-an sampai sekarang, orang pasti
menjawab: yang laku, ya, format manga!
Siapa yang tahu produk komik apa yang laku 10-20 tahun lagi? Mungkin sekali
yang bergaya kartun ala Sponge Bob
atau Dora The Expolorer –mengingat
anak-anak balita sekarang gandrung sekali pada kedua tokoh itu.
Artinya, saya tegaskan, kita tak bisa berpretensi bahwa ada
satu formulasi produk yang jitu dan berlaku sepanjang zaman. Secara alamiah,
pasar selalu dinamis. Justru dinamika pasar itulah yang harus kita manfaatkan.
Karena pada dasarnya pasar adalah dinamis, diperlukan
kejelian untuk menangkap gerak-gerik pasar dan membaca trend yang bakal
memengaruhi demand pasar. Kejelian
membaca pasar itu (yang pada dasarnya adalah kemampuan mencari peluang
pemasaran dalam masyarakat) memang bisa dibantu oleh riset pemasaran. Tapi
riset pemasaran saja tidak cukup. Jika metode atau pertanyaan riset itu tak
disusun dengan hati-hati, bisa-bisa riset pasar hanya akan menghasilkan data
yang menyesatkan.
Lebih penting dari tumpukan data hasil riset adalah daya
imajinatif kita dalam membaca berbagai kecenderungan dalam masyarakat dalam
kaitannya dengan kepentingan pemasaran produk-produk komik. Memang ada dua
pilihan dalam menyikapi pasar: (1) mengoptimalkan pasar yang ada; (2)
menciptakan pasar baru.
Dalam sikap pertama (mengoptimalkan pasar yang telah ada),
memang peranan data pasar teramat penting. Data pasar itu akan menjaga produsen
untuk tetap di jalur permintaan yang telah ada, mengurangi risiko, serta
memberi kesempatan untuk berkonsentrasi menyempurnakan produk agar memiliki
daya saing yang lebih besar. Tapi berhenti pada sikap ini, bersikap konservatif
terhadap keadaan pasar, lambat laun akan membawa pada kemandegan. Karena sebuah
pangsa pasar selalu memiliki life cycle (siklus
hidup). Ada yang bersiklus pendek, ada yang bersiklus panjang, tapi siklus itu ada
dan terus bergerak.
Misalnya di dunia buku. Ada masanya, selama dekade 1980-an,
novel remaja yang dominan adalah novel-novel petualangan karya Enid Blyton (Lima Sekawan, dll.). Pada 1990-an,
remaja lebih memilih novel-novel humor-keseharian macam seri Lupus (Hilman) atau yang bertokoh
“pencinta alam” macam Balada Si Roy
(Gola Gong). Pada 2000-an, bacaan remaja didominasi oleh novel fantasi ala Harry Potter, novel remaja Islam seperti
yang banyak dihasilkan dua bersaudara Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, serta
novel-novel teen lit bertema cinta
ringan dan berbahasa buruk macam Eiffel
…I’m in Love dan Jomblo. Walau
hingga kini novel-novel Enid Blyton, misalnya, tetap diproduksi, tapi ia kini
sedang tak mendominasi. Bisa jadi suatu saat, novel petualangan remaja dominan
lagi. Bisa juga tak akan pernah lagi. Itulah pasar.
Sikap kedua (menciptakan pasar baru), jelas mengandung
risiko tinggi. Tercakup dalam sikap ini adalah keharusan untuk membina/mendidik
pasar. Pembinaan pasar membutuhkan investasi tersendiri. Menciptakan pasar baru
berarti membuat sesuatu yang tidak/belum ada menjadi ada dan besar. Di sinilah
peran imajinasi pemasaran lebih dominan daripada sekadar data tentang keadaan
terkini pasar komik kita. Di sinilah sifat inovatif dan berani mengambil
risiko, dan tidak konservatif, menjadi syarat. Bukan berarti data pasar kita
depak, tapi perlu kejelian dan imajinasi lebih banyak dalam melihat data-data
yang ada untuk bisa melihat apa yang belum ada dan mengisinya.
Sebelum kita lebih lanjut membicarakan masalah pasar bagi
komik kita, kita perlu lebih dulu membicarakan hambatan-hambatan apa yang
menghalangi sebuah visi industri komik yang jitu, rasional, dan sehat.
Hambatan-hambatan itu muncul sejak di pihak penghasil komik sendiri (para
komikus), penerbit, maupun keadaan dalam masyarakat yang menjadi (calon) pasar
komik lokal.
2. KOMIK SEBAGAI PRODUK BUKANLAH SENI MURNI
Hambatan besar di pihak para komikus sering berupa ketidaksiapan
dan ketidakpahaman akan sifat-sifat dan keadaan nyata industri penerbitan
secara umum maupun industri penerbitan komik secara khusus. Termasuk
ketidakpahaman mengenai sifat komik sebagai produk.
Banyak komikus muda kita (angkatan 1990-an hingga kini) yang
mencampuradukkan antara komik sebagai produk dengan komik sebagai karya seni. Karena
membuat komik adalah sebuah kegiatan seni/artistik, banyak yang berilusi bahwa
mereka adalah seniman murni dan menuntut masyarakat untuk memperlakukan mereka
dan karya-karya mereka sebagai “karya seni”. Sebagai “karya seni”, karya-karya
mereka bersifat sakral, tak bisa diganggu gugat, bersifat mutlak, haram
diintervensi.
Padahal sikap otonomi-individual semacam itu hanya
dimungkinkan dalam wilayah seni murni. Komik, pada umumya, adalah seni terapan.
Apalagi jika impian diterbitkan dan dibaca orang menjadi faktor penting sebuah
komik. Sebagai seni terapan, ia harus melayani tujuan-tujuan spesifik yang
telah ditetapkan sejak semula. Jika memang tujuannya akan dipasarkan, maka
komik itu harus mau mendengarkan kehendak dan hukum-hukum pasar.
Sikap mensakralkan karya komik ini terutama rancu jika kita
lihat bagaimana praktik artistik sebagian komikus muda di jalur indie sejak 1990-an ini. Kalau aspirasi
artistik mereka adalah Joe Madruera, Jim Lee, Todd McFarlane, Chris Bachallo, Toriyama,
Travis Charest, Mike Mignola, dan sebagainya, mengapa mesti bergaya seakan
sedang menghasilkan karya sekelas Affandi, Joko Pekik, Van Gogh, atau Picasso,
yang tak boleh di-“utak-atik” atau harus diterima “pokoknya take it or leave it!”, atau kalau
ditolak penerbit lantas bilang, “ah, dasar penerbit bodo, gak tahu seni, gak
bisa menghargai seniman, de-es-be-de-es-be”?
(BERSAMBUNG)
3733 Kali