PROSPEK SENI BUDAYA KITA 2020
PROSPEK SENI BUDAYA KITA 2020

 

Pada 26 Februari 2020, di Bentara Budaya Jakarta, Sahabat Seni Nusantara bersama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan didukung oleh Bentara Budaya Jakarta-Kompas Group-Kompas menyelenggarakan sebuah forum diskusi memapar prospek kesenian dan kebudayaan pada 2020 dan seterusnya. Diskusi ini bermula dari sebuah kegelisahan sekelompok pegiat aktivisme di bidang kesenian dan kebudayaan yang melihat ada semacam perasaan negatif terhadap perkembangan demokratisasi di kalangan gerakan sipil.

Sementara, sejauh yang dijumpai di lapangan oleh beberapa aktivis seperti Aquino Hayunta, Hikmat Darmawan, Indah Ariani, Yogi Sumule, dan juga kawan-kawan di DKJ, khususnya, Danton Sihombing, wilayah kerja seni dan budaya di Indonesia justru sedang sangat dinamis dan memberi harapan akan demokratisasi di Indonesia. Bukannya kegiatan seni dan budaya di Indonesia sama sekali tak memiliki masalah, hambatan, atau tantangan. Tapi, jika dibandingkan dengan bidang lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia yang tampak dipenuhi wacana kebuntuan dan penurunan mutu, bidang seni dan budaya di Indonesia justru sedang mengandung banyak peluang bagi politik warga.

Dalam rangkaian panjang diskusi dan telusur aktivisme di bidang seni dan budaya, khususnya melihat dinamika setelah disahkannya UU no. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dan capaian-capaian dari inisiatif-inisiatif warga selama sepuluh tahun terakhir di wilayah ini –di bidang seni rupa, teater, sastra, tari, film, musik, misalnya– bisa disimpulkan bahwa jalur kesenianan dan kebudayaan adalah jalur yang masih memberi peluang bagi demokratisasi lebih lanjut di Indonesia.

Masalahnya adalah, jarang sekali ada yang mengedepankan perspektif ini ke publik. Media dan media sosial didominasi oleh toxic politic dan nihilisme politik. Sahabat Seni Nusantara bersama DKJ lantas merancang diskusi dan pemaparan bertajuk “Prospek Seni dan Kebudayaan 2020, Peranannya Dalam Demokratisasi Indonesia”. Diskusi mengundang pembicara: Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Kemendikbud), Laura Prinsloo (Komite Buku Nasional 2016-2019), Kusen Alipah (Yayasan Umar Kayam, Koalisi Seni Indonesia), Farah Wardani (Direktur Eksekutif Jakarta Biennalle), Reza Afisina (Ruang Rupa), Hikmat Darmawan (Pabrikultur, DKJ), dan moderator Aquino Hayunta (Sahabat Seni Nusantara).


 

Berikut adalah siaran pers dan ringkasan diskusi yang menurut rencana akan berkeliling dengan komposisi narasumber yang beragam.  

 

Siaran Pers Sahabat Seni Nusantara

Diskursus masyarakat mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini lebih didominasi toxic political discourses dalam media sosial serta media elektronika dan online. Ada persepsi negatif yang mungkin melumpuhkan sebagian kita terhadap situasi bernegara dan menjalani hidup sehari-hari warga: bahwa demokrasi adalah ilusi, atau mengalami penurunan kualitas yang drastis, atau tak mampu memberi jawab pada berbagai kekecewaan atas demokrasi.

 

Bagi gerakan sipil pasca-Reformasi 1998, situasi saat ini terasa amat pecah belah. Tapi, secara umum ada semacam kesepakatan bahwa hingga awal masa kepemimpinan kedua Jokowi, masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan hidup mengalami penurunan mutu. Banyak indikasi yang dipakai: masalah-masalah HAM seperti tiadanya follow up Tribunal internasional pada 2017 di Den Haag tentang peristiwa 1965, meningkatnya kasus intoleransi di seluruh Indonesia sepanjang 2018-2019, masalah pelanggaran HAM baru oleh Negara maupun ormas dan kelompok sipil, dsb. Masalah kebijakan pemerintahan Jokowi soal lingkungan hidup juga tampak justru semakin menguatirkan banyak aktivis dan warga di tengah semakin nyata dan meningkatnya perubahan iklim ekstrem di seluruh dunia.

 

Sebagian kelompok gerakan sipil mengambil sikap keras menolak sama sekali partisipasi demokratis di Indonesia melalui jalur demokrasi prosedural. Ada semacam pandangan nyaris nihilistik yang biasanya menyertai sikap demikian: bahwa tak ada peluang sama sekali terhadap demokratisasi di dalam struktur kenegaraan Indonesia saat ini. Di sisi lain, kita juga membaca sikap apatis dan/atau tidak perduli (ignorant) dari kelompok warga (mungkin sebagian besar dari masyarakat) terhadap isu-isu demokratisasi. Malah, soal HAM dan Lingkungan Hidup bisa jadi dipersepsi negatif oleh sebagian masyarakat sebagai “menghambat pembangunan” atau “agenda asing untuk masyarakat kita”.

 

Sahabat Seni Nusantara adalah semacam koalisi informal para aktivis di bidang seni, budaya, isu perempuan, isu lingkungan hidup, dan HAM yang percaya bahwa dalam kebuntuan atau kelembaman demokratisasi di Indonesia periode kedua Jokowi, justru jalur kesenian dan kebudayaan adalah jalur yang masih memberi peluang-peluang strategis untuk melanjutkan agenda demokratisasi pasca-1998.

 

Paparan dibuka oleh sambutan Danton Sihombing, Plt. Ketua DKJ, tentang pengalaman DKJ mengadvokasikan pembangunan ekosistem seni yang lebih sehat di Jakarta selama lima tahun terakhir.

 

 

Ringkasan Pembukaan Danton Sihombing

Pengalaman DKJ menampakkan bahwa kecenderungan kegiatan seni dan budaya di Indonesia dan dunia saat ini adalah bergesernya egosistem (sistem kesenian yang berpusat pada ego seniman-individual) menuju kesadaran penuh akan ekosistem (antara lain dicirikan oleh kecenderungan kolaboratif, dan memperhitungkan berbagai unsur ekosistem, termasuk mekanisme pendanaan majemuk dan sistemik). Dalam konteks itu, penting untuk melakukan pembacaan-pembacaan yang tepat, misalnya, mengenai hindsight (terawang masa lalu), insight (terawang masa kini), dan foresight (terawang masa depan) pada seni dan ruang-ruang seni seperti TIM. DKJ sendiri sedang mengadvokasikan kepada Pemprov DKI tiga hal: dana abadi kesenian, sebagai mekanisme pendanaan seni dan seniman di Jakarta, membangun ekosistem seni Jakarta yang lebih sesuai dengan perkembangan seni mutakhir, dan penciptaan distrik-distrik kesenian di Jakarta.  

 

Ringkasan Paparan Narasumber

Selama beberapa tahun ke depan, sejumlah kecenderungan berikut ini akan menjadi pendorong utama kegiatan seni dan budaya, sebagian di antaranya telah muncul sejak beberapa tahun yang lalu dan akan terus berkembang menjadi penentu kemajuan budaya.

 

1.       Birokrat yang melayani sektor seni dan budaya perlu mengadopsi perubahan paradigma, dari penentu berubah menjadi fasilitator. Perubahan paradigma ini bisa dimulai dari perubahan struktur birokrasi dari berbasis bidang menjadi berbasis proses (perubahan nomenklatur di Direktorat Jenderal Kebudayaan ingin mendorong hal ini). Ketika nantinya birokrasi benar-benar menjadi fasilitator, tantangan justru terletak di tangan pegiat seni, siapkah mereka memanfaatkan kebebasan tersebut untuk makin mengembangkan kreativitas mereka, atau masih terbiasa dengan arahan dan program kerja pemerintah?

 

Salah satu keuntungan dari perubahan paradigma birokrasi ini adalah diharapkan tidak ada lagi ganti pemimpin ganti kebijakan seperti yang terjadi sampai sekarang ini. Contoh kasus adalah perubahan Kementrian Ekonomi Kreatif menjadi Badan Ekonomi Kreatif (badan tersendiri) lalu berubah lagi menjadi lebur ke dalam Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

 

2.       Pergeseran perspektif ini juga terjadi di kalangan pegiat seni, bergeser dari inisiatif individu (maestro) atau organisasi menjadi inisiatif berbasis kolektif, kawasan atau ekosistem. Ekosistem sifatnya lebih luas daripada kolektif. Kolektif merupakan inisiatif dari sejumlah organisasi atau komunitas untuk bekerja bersama dalam jangka waktu yang panjang, yang antara lain terwujud dari kesediaan untuk beraktivitas dalam satu lokasi yang sama. Inisiatif berbasis kawasan adalah komitmen dari anggota masyarakat yang tinggal di lokasi yang berbeda namun masih dalam satu kawasan, misalnya kumpulan spot-spot budaya di sekitaran Blok M atau Kemang atau Tangerang Selatan. [catatan editor: contoh kegiatan berbasis kawasan adalah Bintaro Design District, yang kegiatannya tersebar di sejumlah venue di sekitaran Tangerang Selatan]. Sedangkan perspektif berbasis ekosistem memandang bahwa semua pemangku kepentingan dalam sektor seni harus dilibatkan dan bekerja bersama, baik itu pegiat seni, negara dan birokrasinya, swasta, dunia pendidikan dan komponen terkait lainnya. Pemajuan kebudayaan ditentukan seberapa baik komunikasi dan sinergi dari para pemangku kepentingan ini.

 

Karena pergeseran perspektif ini, maka narasi kebudayaanpun akan menjadi narasi kolektif, bukan ditentukan oleh individu-individu atau maestro-maestro individual. Secara bersama, komunitas bahkan ekosistem akan membangun narasi bersama ke mana arah kebudayaan akan dibangun.

 

Sejumlah ekspresi baru yang diwakili oleh generasi yang lebih muda juga makin luas dan beragam, cara berekspresinya juga membawa keunikan dan kebaruan.

 

3.       Kerja-kerja berbasis pengetahuan akan menentukan pemanfaatan dan pengembangan kebudayaan. Di tingkat Nasional akan ada Sistem Data Pokok Kebudayaan yang akan menjadi pusat data kebudayaan secara nasional dan akan diintegrasikan juga dengan data kementrian lainnya. Ini seiring dengan makin banyaknya komunitas melakukan kegiatan pengarsipan, seperti arsip seni rupa, arsip lagu-lagu Indonesia era piringan hitam, dan lain-lain. Negara tetangga, Singapura, telah lama mencanangkan dirinya sebagai pusat pengetahuan budaya Asia Tenggara. Indonesia sebetulnya lebih berpotensi untuk menempati posisi ini, jika pengetahuan-pengetahuan kebudayaannya dikelola dengan baik.

 

4.       Peluang-peluang internasional akan terbuka makin lebar untuk budaya Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini seniman-seniman Indonesia ramai ditanggap oleh dunia internasional, misalnya Indonesia yang menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair, Europhalia dan London Book Fair. Organisasi seni Ruangrupa juga akan menjadi art director di ajang seni tingkat internasional, Documenta. Publik seni Indonesia perlu memikirkan bagaimana supaya peluang-peluang tersebut membawa manfaat dan kesempatan untuk mengembangkan kebudayaan Indonesia di tingkat internasional. Tindak lanjut dari pengakuan ini yang masih harus dipikirkan supaya tidak hanya menjadi sebuah peristiwa budaya yang berlalu begitu saja. Selain itu perhelatan seni seperti Jakarta dan Jogja Biennale menarik perhatian skala internasional dan perlu mendapat dukungan yang lebih kuat dari pemerintah. Perhelatan-perhelatan semacam itu turut menjadi wadah bagi ekspresi anak muda yang kian beragam dan bersifat kekinian, apalagi digerakkan oleh pegiat-pegiat seni kolektif yang juga muda.

 

5.       Seni telah dan akan semakin berpotensi untuk melintas ke sektor yang lain, seperti sektor lingkungan, demokrasi, pembangunan atau pemberdayaan masyarakat. Sejumlah praktek seni di desa-desa dapat membangkitkan rasa kolektif warganya, menemukan kembali warisan budaya mereka dan bahkan menunjang perekonomian wilayah mereka. Di tingkat desa, sebuah perhelatan kesenian dapat melibatkan banyak lapisan masyarakat, sehingga memperkuat interaksi dan mempererat hubungan antar anggota masyarakat. Di tempat lain seni bisa menjadi alat bagi pendidikan anak putus sekolah, di mana teater dan musik dapat menumbuhkan kepercayaan diri mereka dan kolektivisme. Masih banyak fungsi seni yang belum digiatkan dalam hal ini, misalnya mendorong kembali semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yang tentu akan lebih menarik daripada seminar-seminar dan pelajaran formal.

 

6.       Tantangan ke depannya adalah bagaimana meyakinkan publik dan birokrat bahwa seni memang penting? Di tengah berbagai tantangan dan isu-isu sosial seperti kemacetan, banjir, ketertinggalan infrastruktur, jaminan kesehatan dan pendidikan serta mengejar pertumbuhan ekonomi, apakah kita bisa membangun argumen bahwa seni dan budaya layak mendapat anggaran dan perhatian yang sama dengan sektor lainnya? Seni yang mampu melintas sektor lainnya seperti diuraikan di atas tentu akan menjadi salah satu argumen yang mendukung. Namun tetap pengembangan estetika, ekspresi dan kreasi menjadi argumen lain yang tidak kalah pentingnya.

 

7.       Bagi para pegiat seni di berbagai wilayah, ada kesempatan untuk mengadvokasi pemerintah daerah supaya lebih memperhatikan seni dan budaya, karena sebagian besar dari mereka telah memiliki Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah yang disusun secara berjenjang dari tingkat kabupaten ke propinsi. Naskah pokok pikiran ini yang mesti diketahui oleh publik dan diawasi bersama supaya terlaksana dan publik bisa mengidentifikasi mana yang bisa disinergikan dengan kebutuhan komunitasnya.

 

 

 

 

01 Maret 2020
Dilihat sebanyak
3973 Kali
Lainnya...
30 Days of Romcom Part 3
30 Days of Romcom Part 3
Tujuh Karya Sastra Kita Untuk Jadi Game
Tujuh Karya Sastra Kita Untuk Jadi Game
Cuplikan dari film Anastasia
30 Days of Romcom Part 2
 1 2     >>>
Pabrikultur © 2015