Oleh: Ibnu Nadzir
(Tanggapan untuk Record Store Day, Jokowi dan Hipster Wannabe; Mencari ‘Kenyataan’ Di Balik Rilisan Fisik)
Beberapa waktu lalu, saya mengernyitkan dahi ketika membaca esai Record Store Day, Jokowi dan Hipster Wannabe; Mencari ‘Kenyataan’ Di Balik Rilisan Fisik. Saya tidak menemukan editorial Jakartabeat yang biasanya menyampaikan sikap dengan ditopang argumen yang baik logis. Sebaliknya, editorial kali ini lebih banyak memuaskan semangat menjadi hipster dengan menyampaikan label-label yang susah dipertanggungjawabkan.
Masalah pada tulisan tersebut dapat ditemukan sejak bagian pertama editorial yang membahas isu Jokowi dan media arus utama. Pada bagian itu, Jokowi digambarkan sebagai sosok presiden yang terkutuk. Bukan hanya harus menjalani tugas maha berat mengelola problem di Indonesia, ia juga menjadi sasaran dari serangan media arus-utama. Di sisi lain, media arus-utama adalah itu punya segudang masalah. Selain kualitas jurnalismenya payah, kepentingannya disetir pemilik modal pula. Maka, dalam perspektif editorial, celakalah orang-orang yang mudah percaya pada berita media arus-utama. Sebab mereka sudah jadi konsumen yang tunduk pada pasar.
Problem-problem yang dibahas tersebut sebetulnya bukan fenomena aneh. Masalah kualitas kerja jurnalisme dan penguasaan pemilik modal pada media dalam taraf tertentu bahkan mungkin telah menjadi banal. Sayangnya, kasus-kasus tersebut kemudian diangkat dengan asumsi kuat editorial bahwa media arus-utama tidak dapat dipercaya.
Dalam konteks ini, keberadaan media arus-utama sebagai sumber masalah begitu dibesarkan, hingga seolah menafikan adanya (kalau bukan banyak) pekerjaan Jokowi yang memang layak dikritisi. Kesan itu diperkuat dengan pilihan editorial untuk menyebut orang yang sepakat dengan kritik media arus-utama sebagai konsumen sejati. Alih-alih menyelesaikan persoalan, label seperti itu rasanya cuma bermanfaat untuk memuaskan nafsu kita menghakimi orang yang dianggap berbeda.
Dalam pembahasaan media, editorial memang memilih tidak menawarkan jawaban segera pada yang hendak mencari rujukan di luar media arus-utama. Namun, saya mengandaikan media alternatif masih dipandang sebagai pilihan yang lebih baik. Bagi saya sendiri, media alternatif sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai opsi yang lebih baik daripada media arus-utama. Pada media arus-utama ada acuan yang lebih jelas dan dapat digunakan untuk menilai kualitas jurnalismenya. Standar tersebut sulit diterapkan pada media alternatif, sebab masing-masing media menerapkan standar penulisan yang terlalu beragam.
Selain itu, media alternatif juga dibangun dengan dasar kepentingan bahkan ideologi yang tidak kalah beragam. Jika saya mencari pencerahan atas kapitalisme misalnya, Ar-Rahmah dan Indoprogress akan menawarkan sudut pandang yang amat berbeda. Implikasinya, lewat media alternatif konsumen-agak-sadar (baca: bukan konsumen sejati) tidak juga mendapatkan kebenaran yang dianggap absen dari media arus-utama. Jika pun konsumen-agak-sadar merasa media alternatif lebih baik itu karena kali ini ia memilih sendiri kebenaran yang ia percaya dari banyak versi yang tersedia.
Bagian tulisan lain yang juga menggelitik adalah pembahasan Record Store Day dan hipster. Editorial tampak pesimis pada penyelenggaraan Record Store Day di Indonesia. Kemuraman tersebut berkaca pada pengalaman ajang serupa di banyak tempat di luar negeri. Konon, pada awalnya acara ini bertujuan untuk menggeliatkan lagi rilisan fisik band-band yang penting untuk didengar. Namun, lambat laun acara ini dikooptasi oleh pasar dan label-label raksasa. Akibatnya, pengarsip musik yang disebut oleh editorial sebagai hipster perjuangan harus tersingkir.
Tulisan itu juga menggelisahkan fenomena tersebut akan terjadi di Indonesia. Sebab dikatakan, ajang yang diharapkan mempromosikan budaya alternatif keren tengah menghadapi beberapa ancaman sekaligus, mulai dari label besar sampai kelas menengah ngehe yang membeli rilisan fisik agar bisa jadi hipster. Dengan kata lain, editorial mengharapkan hipster perjuangan dan produknya (yang katanya keren) harus dilindungi dari pasar.
Pada bagian ini, editorial memaksakan ide mengenai adanya dua jenis hipster, yaitu hipster perjuangan dan hipster wannabe atau gadungan. Kelompok pertama konon dicirikan dari pengetahuannya yang luas, semangat preservasi musik, dan ikatan komunitas. Sedangkan yang kedua, adalah orang tanpa pengetahuan, semangat preservasi musik, dan membeli rilisan fisik sebagai status simbolik.
Kategori-kategori itu mungkin dibangun agar pembaca editorial lebih memahami isu yang dibahas. Namun, kategori tersebut menurut saya malah membingungkan karena tidak menjelaskan apa-apa. Saya bisa mempertanyakan misalnya, apakah pemilahan semacam itu betul-betul dapat dilakukan di dunia nyata? Siapa yang bisa menjamin pengarsip musik yang dikenal banyak orang tidak menjadikan rilisan fisik sebagai status simbolik? Sebaliknya, dari mana kita tahu pembeli rilisan fisik tidak memiliki semangat preservasi musik? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan sangat sulit dijawab. Sebab bahkan tanpa kategorisasi, konsep hipster sendiri sudah sangat tidak jelas.
Tidak ada kriteria yang mudah digunakan untuk dapat menentukan siapa yang dapat disebut sebagai hipster. Namun, hipster kerap digambarkan sebagai kelompok yang sibuk membedakan dirinya dari apapun yang dianggap sebagai bagian arus utama. Jika menggunakan definisi ini, maka pendengar Kangen Band hampir pasti tidak dapat disebut sebagai hipster. Analogi tersebut baru menunjuk sosok yang “bukan hipster” tapi belum hipster itu sendiri. Untuk mencari sosok hipster, sebelumnya kita harus menentukan musik siapa yang “bukan bagian dari arus-utama”?
Kategori tersebut begitu abstrak dan hampir tidak mungkin dielaborasi. Sebagus apapun kualitasnya, seesoterik apapun pendengarnya, hampir dipastikan akan ada yang menuding bahwa band tersebut bagian dari arus-utama (yang tidak keren). Pada titik ini, hipster sendiri akan kesulitan untuk menentukan sosok yang dianggap sebagai bagian dari kelompoknya. Meskipun demikian, hipster sepertinya tetap melanjutkan upaya untuk menjadi terus berbeda dengan menuduh orang lain sebagai bagian kelompok yang tidak keren. Yang menarik, model matematika menemukan bahwa upaya tersebut sebetulnya sia-sia (bisa dibaca di sini). Sebab hipster malah jadi semakin mirip satu dengan yang lainnya.
Dalam konteks ini, alih-alih menjernihkan isu yang diangkat editorial malah menambah ketidakjelasan dengan semena-mena menggunakan kategori dan label kelompok. Implikasinya, tulisan itu terjebak pada banyak ketidakjelasan nalar lainnya. Ketika editorial menghujat hipster wannabe, bagi saya itu terdengar seperti kelompok yang meributkan jumlah helai jenggot sebagai syarat masuk surga. Saya juga kesulitan mencerna ketika editorial mencaci pasar namun juga memuji Steve Jobs sebagai genius.
Jikapun ada isu yang diangkat editorial dianggap penting, pilihan untuk sibuk mengobral label saya kira tidak berguna untuk menyelesaikan persoalan. Dengan hidup di Indonesia, seharusnya kita sudah cukup kenyang dengan tudingan yang cenderung mengunci nalar. Tetapi persoalan menjadi lain jika memang penulis editorial sedang menjalankan perannya sebagai hipster. Jika demikian, saya seharusnya tidak berkomentar apa-apa sejak awal. Sebab, hipster secara inheren memang selalu memilih untuk jadi Sisipus. ***
Ibnu Nadzir adalah Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bidang sosial budaya...
8617 Kali