Sudah jadi pengetahuan umum di kalangan pelajar musik bahwa komposer Eropa Claude Debussy terkesima ketika pertama kali mendengar musik gamelan Jawa di Paris Expo pada 1889, dan pengalaman itu memengaruhi karya-karyanya kemudian.
Seorang pengamat, David Toop, malah menegaskan bahwa baginya, hari ketika Debussy mendengarkan gamelan itu adalah awal dari musik abad ke-20. Toop, dalam Ocean of Sound (1995), mencirikan sifat dasar musik abad ke-20 adalah musik yang berpusat pada komunikasi yang bersicepat dan konfrontasi antarbudaya. Debussy, yang sedang tak puas pada pakem musik Barat semasanya, terpana mendengar sesuatu yang sama sekali lain dalam musik gamelan Jawa di Paris Expo itu.
Salah satu biografi Debussy menyebut bahwa gamelan yang didengar oleh Debussy malam itu mengiringi tari Bedaya. Toop menduga bahwa versi Bedaya yang dilihat Debussy adalah versi selain Bedaya Ketawang dan Semang yang sakral. Tapi, sepengetahuan Toop, semua Bedaya ditarikan secara perlahan-anggun dan bertema ke-air-an. Menurut Toop, tema itu memengaruhi karya-karya Debussy beberapa tahun sesudahnya, yang “likuid” dan bertema “ke-air-an” juga: La Mer, Reflets dans l’eau, Jardins sous la pluie, dan Poissons d’or.
Malam itu, pada kemeriahan Paris Expo 1889, Debussy yang resah terpajan pada liyan, suatu dunia musik selain musik Barat yang mengungkungnya, sebuah “dunia bunyi di luar aturan-aturan dan pakem-pakem ketat” (Toop, 1995). Tentu, sebelum dan sesudah malam itu, Debussy juga terpengaruh oleh warisan musik abad pertengahan dan juga drama Vietnam semasa hidupnya. Tapi, jika melihat betapa terkenal “insiden” Debussy dan gamelan, maka malam itu adalah titik balik musikalitas Debussy –dan, kalau kita percaya Toop, juga titik balik musik Barat.
Di satu segi, sifat komunikasi dan konfrontasi (tabrakan) antarbudaya musik Barat abad ke-20 menjelaskan kelahiran musik-musik seperti jazz dan rock, misalnya, yakni sebuah dialog cum tabrakan kreatif antara musik Barat dan musik blues yang berakar pada warisan musik kaum budak kulit hitam di Amerika. Bayangkan, misalnya, perjalanan dari blues jalanan di Amerika pada masa 1920-1930-an, hingga kemegahan progressive rock pada 1960-1970-an yang banyak diolah musisi Inggris dengan warisan Bethoven mereka. Betapa banyak dialog kebudayaan dalam perjalanan itu!
Gamelan sendiri, pada akhirnya bukan hanya gamelan Jawa. Ada gamelan Bali yang lebih dinamis. Dan kesemua gamelan itu telah banyak memikat para musisi Barat. Sebut saja komposer Collin McPhee, John Cage, Jon Hassel, Yes, hingga sampling band asal London, Loop Guru. Gamelan (Bali) juga yang mendominasi salah satu tonggak musik Indonesia: Guruh Gipsy, grup rock progresif 1970-an pimpinan Guruh Soekarno Putra dan beranggota antara lain Chrisye, Jocky S., Keenan Nasution, Fariz RM. Semua alumni Guruh Gipsy jadi tokoh penting penentu warna dan corak musik Indonesia pada 1980-an, dengan pengaruh yang masih terasa hingga kini.
Di sisi lain, gagasan dasar musikalitas Debussy setelah ia mendengar gamelan Jawa itu adalah “keterbukaan”,”intuitif”, dan “impresionisme”. Gagasan-gagasan ini kembali meruak dalam lanskap musik menjelang akhir millenium ke-2, lewat musik-musik ambient yang dipopularkan Brian Eno dan segerombol “seniman bunyi” beraliran musik yang dilabel macam-macam: environmental, deep listening, ambient techno,electronic, sound art, sound design, brainwave music, New Age, chill out, dsb., dsb.
Lain kali, kalau Anda ke lantai dugem, tenggelam dalam ekstase samudera bunyi yang dipaparkan para DJ, ingat-ingat bahwa Anda ada di sisi lain sebuah dunia bunyi yang sama dengan para penari Bedaya.***
Rekomendasi: Situs: untuk musik-musik ambient, electronic, dan semacamnya, silakan bukamoteldemoka.com. Salah satu situs musik terbaik, lengkap dengan esai-esai pendek (seringkali puitis) pengiring daftar lagu, dan ilustrasi foto/lukisan yang oke.
(Hikmat Darmawan)
7802 Kali