
Realitas buatan dalam media tampil dalam banyak cara. Salah satu yang paling “berbahaya” adalah realitas yang muncul dalam akibat konstruksi media. Gampangnya, sebuah media memiliki kemampuan untuk menciptakan serangkaian pola, pakem, atau aturan untuk menampilkan citra sesuatu. Misalnya, citra “keluarga bahagia”.
Perhatikan berbagai iklan bank, iklan makanan atau minuman instant, iklan sabun mandi, iklan obat nyamuk semprot, iklan suplemen, iklan provider telepon selular, atau iklan mobil di televisi Indonesia yang menggambarkan citra “keluarga bahagia”. Hampir semua selalu menggambarkan sosok sebuah keluarga kelas menengah yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (kadang ada juga kakek dan nenek). Mereka digambarkan selalu memiliki rumah model real estate, punya paling tidak sebuah mobil, dan berbagai benda-benda mewah khas sebuah keluarga yuppies di kota besar (tepatnya, Jakarta).
Rata-rata dalam iklan itu, anak-anak memiliki kamar sendiri yang cukup luas dan nyaman. Anak-anak itu tampak punya mainan yang banyak. Mereka juga tampak punya ruang makan dengan meja cukup besar dan selalu terisi makanan dengan lauk pauk lengkap 4 sehat 5 sempurna.
Jika pergi ke mana-mana, mereka selalu punya pakaian khas: pakaian ke tempat kerja biasanya kemeja hem untuk lelaki, boleh juga dilengkapi dasi; sedang pakaian kerja perempuan biasanya menggunakan blazer –walau ada konstruksi umum bahwa perempuan sebagai istri biasanya berada di rumah saja, menjadi “ratu rumah tangga” mengurusi suami yang akan berangkat atau baru pulang kerja serta anak-anak mereka; lain jika sedang berlibur –ke pantai, atau ke gunung, masing-masing punya pakaian khas. Mereka ke mana-mana memakai mobil dengan cat berkilat.
Di samping setting dan aksesoris pakaian yang serba khas dalam citra keluarga ideal di iklan-iklan televisi kita, konstruksi tersebut juga mencakup tampang para sosok anggota “keluarga ideal” itu. Mereka haruslah bergigi bagus, putih cemerlang. Mereka berpakaian rapi dan licin terseterika. Kulit mereka umumnya putih susu. Perawakan rata-rata tegap dan tinggi.
Singkatnya, mereka semua menarik secara fisik. Bahkan tak jarang memang sosok keluarga bahagia dalam iklan televisi sekalian menampilkan keluarga para artis (baik keluarga nyata atau fiktif). Sebuah iklan suplemen vitamin C, misalnya, menampilkan keluarga Marissa Haque dan Ikang Fawzie serta anak-anak mereka.
Soal “tampang menarik” ini juga terkait dengan konstruksi media yang lain dalam iklan-iklan di televisi kita. Misalnya, konstruksi media tentang “kecantikan” perempuan. Sosok yang biasa ditampilkan untuk menggambarkan citra “cantik” dalam iklan-iklan televisi kita adalah para perempuan langsing-semampai, berkulit putih, berwajah indo (blasteran kaukasoid, yakni bule atau Arab/India “putih”, dengan Melayu) atau Oriental. Jika sesosok perempuan yang tampil adalah tak langsing tapi bertubuh padat berisi dengan lekuk-lekuk tubuh amat khas, maka berarti itu adalah sosok “seksi” dan bukan “cantik”.
Konstruksi-konstruksi macam ini mengarahkan pada semacam idealisasi. Bayangkan hidangan iklan televisi tentang idealisasi “keluarga bahagia” berciri-ciri di atas ternyata disaksikan di sebuah rumah sempit dalam gang dengan perumahan serba rapat dan berdempet. Bayangkan bahwa iklan itu disaksikan oleh sebuah keluarga (atau seorang anggota keluarga) yang hidup dalam sebuah ruangan sempit, di mana televisi berada di kamar tamu sekaligus kamar tidur. Bagaimana jika idealisasi tentang “keluarga bahagia” itu merasuk ke dalam pikiran penonton dengan latar belakang keluarga kelas bawah –yang nota bene adalah kenyataan mayoritas keluarga di Indonesia?
Perbedaan antara dunia nyata yang dialami seorang penonton iklan dan dunia kenyataan-buatan yang dikonstruksikan sebuah media bisa bertabrakan dalam diri seorang penonton. Tanpa benteng pemahaman kritis terhadap sajian iklan-iklan tersebut, bisa jadi terbentuk sebuah idealisasi “keluarga bahagia” yang menampik dunia nyata si penonton sendiri.
“Keluarga bahagia” adalah yang punya rumah luas, meja makan dan kulkas besar yang selalu terisi penuh, punya mobil, dan sebagainya. “Keluarga bahagia” adalah yang menggunakan produk-produk yang diiklankan. “Keluarga bahagia” adalah yang berkulit putih, berbaju banyak dan selalu rapi,
Idealisasi demikian bisa membawa pada sebuah dislokasi sosial. Penonton yang melihat bahwa dunia keluarga yang nyata ia alami ternyata jauh dari citra “keluarga bahagia” di televisi, lantas bisa mengembangkan sikap tak puas atas kenyataan yang ada dan mengejar idealisasi “keluarga bahagia” yang telah dikonstruksi media tersebut. Sebatas ingin maju demikian sih tak apa. Masalahnya adalah jika ternyata citraan ideal itu betul-betul tak bisa digapai oleh orang kebanyakan karena sebab-sebab struktural. Sang penonton yang kadung terpengaruh idealisasi iklan TV itu bisa merasa “salah tempat” secara sosio-kultural.
Persepsi atau perasaan dislokasi sosial macam ini sungguh sangat rentan terhadap rasa frustasi sosial. Jika itu taruhannya, para pembuat iklan musti lebih hati-hati. *** (HD)
10970 Kali