13 BUKU TERBAIK 2015 (Bagian Dua)
13 BUKU TERBAIK 2015 (Bagian Dua)

Oleh: Hikmat Darmawan

 

8.

Oksigen Jiwa, Biografi Visual

(Hanafi, Pengantar: Afrizal Malna, Penerbit: Nuansa Cendekia)

 

Buku yang terasa nyentrik ketika saya temukan di rak toko buku Gramedia. Bermula sebagai sebuah katalog pameran tunggal Hanafi, seorang perupa yang dianggap seorang penganut aliran abstrak oleh banyak kritikus. Dengan esai panjang dari Afrizal Malna (separuh buku), buku ini mengumpulkan esai-esai otobiografis perjalanan ke(-seni-)rupaan Hanafi.

Esai-esai pendek Hanafi terasa sahaja dan gamblang. Tapi, dengan kalimat-kalimat yang (kebanyakan) pendek dan diksi yang karib dengan percakapan keseharian kita, Hanafi seakan melukis dengan kata. Setiap sudut dan segi tulisannya terasa sebagai hasil pertimbangan yang matang. Tak ada kata-kata yang terasa sia-sia atau berlebih. Lebih penting lagi, keseluruhan setiap esai seperti sebuah bidang lukisan yang hidup. Aneh juga, sebetulnya: perupa abstrak ini menutur perjalanan kerupaannya dalam gaya realis ala lukisan-lukisan Sudjojono.

Dengan gaya yang nyaris berseberangan, esai Afrizal memapar betapa sesungguhnya tak aneh jika Hanafi menulis demikian. Afrizal memberi konteks keduniaan pada biografi visual Hanafi, dengan gaya yang selama ini kita kenal dari Afrizal: seperti rangkaian suara dari alam mimpi yang bocor dan merembes ke dunia "nyata" (ataukah sebaliknya –seperti suara dari alam "nyata" yang bocor dan merembes ke dunia mimpi?).

Keduanya adalah penyair alam kebendaan yang peka, dengan medium kerja yang biasanya berbeda: Afrizal dengan kata, Hanafi dengan cat, kanvas, serta benda-benda bahan rupaan lainnya (jika ia membuat instalasi). Di buku ini, keduanya bertemu, saling mengisi, dengan wahana bahasa tulis. Kita pun diundang dalam sebuah pesta kata merayakan benda.

Pesta yang kecil, intim, tapi terasa penting jika kita memikirkan betapa buku ini berbahasa Indonesia dan merayakan alam benda di Indonesia. Sebuah tahap lanjut dari pengalaman kebangsaan?

 

7.

Kematian Kecil Kartosoewirjo

(Triyanto Triwikromo, Penerbit: Gramedia)

 

Sampul belakang buku ini mencantum keterangan bahwa ini adalah "sejarah liris". Sebagai bentuk, ini bukan hal baru. Bukankah Homeros memaksudkan Odyssey yang ditulis secara liris sebagai sebuah catatan sejarah? Begitu juga Babad Tanah Jawi atau tambo-tambo di Minang. Dalam bentuk lebih modern, kita juga mengenal karya-karya Eduardo Galeano (trilogi Memories of Fire dan Days and Nights of Love and War) sebagai buku-buku sejarah liris yang kuat.

Sastra Indonesia mencatat juga Post Kolonial dan Wisata Sejarah Dalam Sajak karya Zeffry Alkatiri sebagai sebuah teks liris tentang sejarah Indonesia (tepatnya, sejarah Hindia Belanda). Lalu buku ini. Triyanto mengangkat sosok Kartosoewirjo, salah seorang teman kos Soekarno di rumah Tjokroaminoto, yang dihukum mati karena memimpin pemberontakan Darul Islam pada Soekarno. Tepatnya, buku ini memusatkan perhatian pada masa singkat pengangkapan Karto dan eksekusi matinya.

Selama Orde Baru, Kartosoewirjo dan Darul Islam adalah salah satu momok yang nyaris sama dengan PKI. Rezim Soeharto mencetak sejarah yang menjadikan Komunisme dan ide Negara Islam sebagai Setan Besar, dan para pendukungnya sebagai monster menakutkan yang mengancam warga sejak masa kanak di sekolah dasar. Triyanto menggambarkan dalam sajak demi sajak, Kartosoewirjo yang kuyup oleh cinta, seorang idealis yang zahid, bukan seorang demagog Islam-politik yang berwatak pembunuh.

Tafsir Triyanto atas Kartosoewirjo ini terasa segar di tengah banalisasi gagasan dan gerakan Islam-politik saat ini. Bagaimana tak banal, jika sosok-sosok berilmu agama setipis kertas tisu macam Felix Siauw dan Jonru dipuja-puja sebagai "pemikir Islam".

 

6.

Unflattening

(Nick Sousanis, Harvard University Press)

 

Sebuah disertasi tentang pendidikan visual yang di-"tulis"-kan dalam bentuk komik. 'Nuff said!

 

 

 

5.

Menerjang Badai Kekuasaan

(Daniel Dhakidae, Penerbit Kompas)

 

Buku ini sungguh seperti sebuah makan malam yang mewah. Ada 13 tokoh yang ditelisik biografi hidup mereka dengan metode yang mendasarkan diri pada teori C. Wright Mills dalam risalah kecil Sociological Imagination. Ketigabelas tokoh itu sungguh sebuah pelangi sejarah personal, yang dalam keseluruhan buku ini membentuk sebuah imajinasi sosial tentang apa itu "Indonesia".

Soe Hok Gie, Poncke Princen, Rusi, Toety Azis, Pramodya Ananta Toer, Rohimah dari Teater Hati Nurani, Kusni Kasdut dan geng-nya, Mohammad Hatta, Sam Ratulangi, Frans Seda, KH. Abdurrahman Wahid, bahkan Soekarno di masa pengasingan di Pulau Ende. Dari presiden hingga kriminal ala Robin Hood. Tokoh Negara dan orang biasa. (Malah, jika membaca buku ini, bisa saja kita jadi bertanya, apa sih arti "orang biasa"? Apa ada sebenarnya "orang biasa"?)

Setiap pribadi diteropong dalam kerangka jalinan saling pengaruh antara biografi, sejarah, dan struktur sosial. Dan kerangka struktur sosial itu disarikan dalam persoalan relasi Kuasa antar orang, kelompok, dan sesama unsur masyarakat dalam setiap kisah pribadi di ketigabelas bab buku ini. Bagaimana kekuasaan di suatu masa membentuk dan menentukan pilihan-pilihan seseorang, bagaimana pilihan-pilihan seseorang dalam kerangka struktur sosial yang ia jalani berdampak pada dinamika Kuasa semasa.

Lebih dari itu, Daniel Dhakidae menuliskan setiap biografi pendek dalam buku ini dengan asyik, di samping cermat. Saya seperti sedang membaca edisi terbaik jurnal Prisma di masa puncaknya dulu.

 

4.

The Art of Charlie Chan Hock Chye

(Sonny Liew, Penerbit: Epigram Books)

 

Terus terang, saya iri pada novel grafis ini! Indonesia punya sejarah panjang novel grafis sejak 1950-an, tapi didominasi oleh novel grafis genre. Sedang Singapura baru meruah tradisi novel grafisnya beberapa tahun belakangan, tapi sudah menghasilkan novel grafis beraliran cerita personal dengan ambisi artistik sekaligus ambisi sastrawi yang tinggi.

Untung saja saya bisa membacai segelintir novel grafis Indonesia angkatan ketiga (sejak pertengahan 1990-an hingga kini) yang mulai menampakkan karya-karya personal, artistik, dan sastrawi. Apalagi, tahun ini saya membaca novel grafis eksperimental yang luar biasa tentang skena indie Indonesia, Atom Jardin. Kalau tidak, saya cuma bisa iri pada skena novel grafis Singapura. Sedangkan novel grafis The Art of Charlie Chan… sendiri, memang disambut di pelbagai negara sebagai karya "ajaib" tahun ini.

Sonny Liew menggambarkan kehidupan dan perjuangan kreatif seorang kartunis Singapura, Charlie Chan Hock Chye, sejak 1954 hingga lebih lima dekade kemudian. Ini tokoh fiktif, tapi rupanya Sonny Liew sungguh berhasil membuat reka-percaya tokoh ini sehingga banyak yang percaya bahwa tokoh ini sungguh ada.

Sungguh mata kita pesta menelusuri Sonny menggambar dengan berbagai gaya gambar dan kartun untuk mencerminkan keanekaan dunia kartun Charlie Chan dan Singapura. Dan dengan gamblang, Sonny menjadikan perkembangan kreatif Charlie Chan sebagai wahana menarasikan tahap demi tahap perkembangan bangsa Singapura.

Karena mau tak mau menyenggol segi politik dunia Singapura yang dinarasikan novel grafis ini, Sonny sempat dapat kesulitan. Negara mencabut hibah untuk penerbitan buku ini karena dianggap menyinggung sisi peka politik Singapura. Buku ini tetap terbit, dan bahkan laris secara internasional –mengalami beberapa kali cetak ulang. Pada 2016, penerbit besar Pantheon akan menerbitkan secara lebih luas lagi novel grafis ajib ini.

 

3.

A Brief Story of Seven Killings

(Marlon James, Penerbit: Oneworld Publication)

 

Ada sekitar 75 karakter dalam novel ini yang keluar masuk dalam narasi besarnya. Aneka suara direkam dan dimainkan oleh Marlon James, sang pengarang, dalam novel ini. Sebuah novel yang riuh rendah, dan membawa kita bukan hanya ke jantung naratif yang menyusun kesan kita tentang "apa itu Jamaika", tapi juga "apa itu arti berada di era 1970-an dan 1980-an".

Terilhami oleh upaya pembunuhan Bob Marley (sepanjang novel, hanya disebut "the singer"), novel ini menelusuri rangkaian kejadian sebelum dan sesudah insiden itu. Dalam keping-keping aneka suara itu, tergambar suasana Jamaika di era ketika gangster berkuasa tak hanya di jalanan tapi juga terlibat dalam permainan kekuasaan Negara. Agen-agen CIA tinggal di Jamaika, gangster dan pelarian Jamaika melintasi perbatasan ke kota-kota besar Amerika. Dan musik Bob Marley seperti hantu, seperti jiwa (spirit) yang mengapung, mengawang, mencoba jadi suara lain dari segala kekerasan dan kenyataan brutal Jamaika.

Menyimak banyak suara secara suara, apalagi jika suara-suara itu terasa asing, sama sekali bukan soal mudah. Kita harus menghadapi tantangan bertumpuk: tantangan memahami suara lain itu, dan tantangan memberi tempat bagi banyaknya suara itu –tantangan mendapatkan kejelasan dalam kegaduhan. Tapi, bisa jadi, hasrat akan kejelasan dan persepsi bahwa aneka suara dan bunyi itu adalah sebuah "kegaduhan", adalah cerminan hasrat menguasai dan mengendalikan dunia dan kenyataan di sekitar kita. Hasrat ingin menertibkan suara-suara lain.

Padahal, bisa saja aneka suara itu dipandang bukan sebagai sebuah kegaduhan, tapi sebuah musik. Bukan musik harmonis, tapi tetaplah sebuah musik. Buku ini saya coba terima demikian. Ini bukan buku yang mudah dibaca. Tapi, begitu saya bersikap ingin menikmati saja, bersilancar di aneka suara, rujukan, pikiran, kejadian, yang menggerumuk dalam novel gemuk ini, eh, ternyata enak juga. 

 

2.

Indonesia, Etc.: Exploring The Inprobable Nation

(Elizabeth Pisani, Penerbit: W.W. Norton & Co.)

 

Dua dari sekian teka-teki tentang Indonesia yang Elizabeth Pisani coba pecahkan lewat buku ini: (1) mengapa negeri dengan lebih dari 13 ribu pulau, sekitar 360 grup etnik, dan lebih dari 700 bahasa, negeri keempat berpenduduk terbanyak di dunia, tidak terasa ada dalam peta global saat ini? (2) bagaimana bisa negeri kepulauan (yang, mengutip ungkapan Habibie, sebesar benua tapi banyak lautan di tengahnya) yang tak juga jadi raksasa ekonomi ini tetap bertahan sebagai sebuah bangsa?

Elizabeth Pisani bukanlah Elizabeth Gilbert, yang dalam Eat, Pray, Love menggambarkan Bali sebagai sebuah surga fantasi romantik seorang perempuan kota besar dari negara maju. Pisani adalah seorang jurnalis berwatak petualang. Dia bertahun-tahun bolak-balik tinggal di dan pergi dari Indonesia. Dan untuk buku ini, dia mencanang melakukan perjalanan setahun keliling Indonesia, dengan fokus pada daerah-daerah luar Jawa yang jarang dikenal bahkan oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri.

Dengan menyusun naratif dari keping-keping anekdot pengalaman di area "luar" dan pinggir Indonesia itu, Pisani memapar sebuah Indonesia yang penuh paradoks, selalu terancam buyar di setiap tikungan, terlalu besar dan beragam untuk tetap jadi satu bangsa, tapi entah bagaimana toh ternyata tetap satu dan tidak juga buyar.

Pisani mencoba menawarkan beberapa jawaban, yang sekilas terasa nyeleneh. Misalnya, bahwa korupsi telah membantu Indonesia tetap satu. Jejaring hubungan pribadi, dalam amatan Pisani, seringkali lebih penting daripada kewajiban-kewajiban terhadap masyarakat. Kita mengenal itu selama beberapa dekade: keselarasan, harmoni, dan betapa kemakmuran yang mengikuti logika kucuran dari atas, menjadi lem perekat kesatuan bangsa.

Tentu saja, orang bisa memasalahkan posisi Pisani sebagai seorang asing, "orang luar" –tahu apa dia sesungguhnya tentang Indonesia? Tapi, kebanyakan kita pun, sebenarnya, tak tahu benar apa itu "Indonesia". Tulisan-tulisan jurnalistik Pisani dalam buku ini membantu kita melihat Indonesia yang hidup, bukan sekadar gagasan melambung tentang Indonesia.

 

1.

berlin proposal

(Afrizal Malna, Penerbit Nuansa Cendekia)

 

Seringkali, yang jadi ukuran buku atau karya terbaik bagi saya adalah seberapa kuatnya sebuah karya berdampak pada saya. Bisa jadi, soal dampak itu lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan psikologis di momen saya membaca karya tersebut. Tahun ini, dua buku yang sangat kuat menonjok benak dan batin saya adalah A Sense of Ending (Julian Barnes) dan berlin proposal (Afrizal Malna).

Saya membaca berlin proposal berulang-ulang, dan setiap kali, saya terbetot ke dalam dunia yang rasanya karib, dunia keseharian yang saya temui, tapi telah dibekuk dan dibentuk semau Afrizal. Bahkan bentuk-rupa penulisan puisi-puisi dalam buku ini pun berulangkali dipermainkan, kadang dengan sepenuhnya menjadi visual.

Tentu saja, permainan-permainan bentuk semacam itu sama sekali bukan hal baru. Puisi-puisi E.E. Cummings pada awal hingga pertengahan abad ke-20, puisi-puisi konkret Sutardjie Calzoum Bachrie dan Danarto, puisi-puisi rupa Gendut Heriyanto seperti di kumpulanHabis Gelap Terbitlah Gelap, atau puisi-puisi lintas medium dari Made Wianta. Afrizal, terasa bagi saya, sedang menelusuri dari ulang periode awal kepenyairannya, dan kembali menemukan suara dalam permainan bentuk yang kadang menghilangkan sama sekali kata.

Tapi, Afrizal tampak tak merasa perlu mencantum keterangan atau apologia mengapa ia memasuki kembali wilayah permainan bentuk dan permainan visual yang pernah digali oleh penyair-penyair lain lebih dulu. Soal "memasuki kembali" itu pun saya rasakan dari beberapa puisi di buku ini yang terasa seakan kembali ke era sajak-sajak dada, kumpulan puisi Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikrofon (1990), dan Arsitektur Hujan (1995).

Tapi, "kembali"-nya Afrizal itu tak terasa sebagai sebuah mannerism (pengulang-ulangan) karena kehabisan ide segar –sebuah lonceng kematian kreatif bagi seorang seniman/penyair. Sebaliknya, saya merasa seperti sedang berziarah, sekaligus diajak melakukan penyusunan ulang bahasa ucapnya sebagai penyair Indonesia.

Di pengantar, Afrizal menulis bahwa kumpulan ini ditulis selama ia tinggal di Jerman, dan mengalami keadaan ketika bahasa Indonesia sebagai satu-satunya kenyataan hidup Afrizal sebelumnya "seperti sedang kehilangan dinding-dinding lamanya…" Afrizal menyatakan, "Saya mengalami semacam krisis representasi dari makna yang tidak ada ruangnya dalam bahasa". Terus terang, itu pengalaman yang kerap saya rasakan pula, ketika tinggal hampir setahun di Jepang, atau saat dua minggu ke Eropa tahun lalu.

Tapi, dalam kadar yang lebih sayup, pengalaman krisis itu pun saya rasakan di dunia media sosial dan dalam pergaulan dengan anak-anak masa kini selama kurang lebih 5-6 tahun belakangan. Saya sering gamang dan merasa kehilangan bahasa setiap kali terbenam dalam keramaian dunia media sosial, atau saat terlibat percakapan di tengah keramaian acara-acara sosial dan budaya masa kini di Jakarta. Buku ini buat saya seperti kandil yang hangat, menerangi perasaan-perasaan gamang itu.

Max Weber pernah menulis tentang entzauberung der welt (disenchantment of the world) atau hilangnya pesona dunia. Goenawan Muhamad menerjemah "enchantment" bukan menjadi "pesona" tapi menjadi "tuah". Saya merasakan tuah itu di setiap halaman yang saya buka di buku ini. Tuah kata, tuah alam benda. Jika kumpulan puisi ini adalah kaca mata, ia jadi filter, yang membuat saya memandang dunia sehari-hari saya penuh misteri lagi.Saya terpesona.

07 Januari 2016
Dilihat sebanyak
7024 Kali
Lainnya...
MEMBURU MUHAMMAD: Keresahan yang Akhirnya Terwakilkan
MEMBURU MUHAMMAD: Keresahan yang Akhirnya Terwakilkan
MENCARI IDENTITAS DALAM FILM LAGA INDONESIA
MENCARI IDENTITAS DALAM FILM LAGA INDONESIA
Semesta Harry Potter, 19 Tahun Kemudian
Semesta Harry Potter, 19 Tahun Kemudian
 1 23     >>>
Pabrikultur © 2015