Kalau semula buku tentang studi budaya populer yang terbit
di Indonesia adalah karya penulis asing macam Marcel Bonneff (Komik Indonesia, 1999, cetak ulang 2006),
Andrew Weintraub (Dangdut, 2012),
sampai beberapa judul karya Peter Carey pun Ben Anderson, kita patut salut beberapa
karya penulis Indonesia juga muncul dengan topik tak kalah kontekstual.
Sebutlah Ariel Heryanto (Identitas dan
Kenikmatan, 2015), Paul Heru Wibowo (Si
Jampang Jago Betawi, 2015), Garin Nugroho/Dyna Herlina (Krisis dan Paradoks Film Indonesia, 2013),
Seno Gumira Ajidarma (Panji Tengkorak,
2011), Hikmat Darmawan (Sebulan di Negeri
Manga, 2019), Koko Hendri Lubis (Roman
Medan, 2019), Fandy Hutari/Dedi Otara (Tan
Tjeng Bok, 2019), dan banyak lagi.
Buku Atas Nama Dendam
karya Paul Heru Wibowo kali ini mengangkat studi film Indonesia, khususnya film
laga yang semula lebih banyak dipahami publik terutama pengamat seni sebagai hiburan
semata ala kitsch –produk budaya selera
rendah– dengan mengumbar kekerasan dan seks, yang kali ini coba ditelisik
penulis sebagai artefak budaya dan refleksi politik identitas semasa Orde Baru.
Film Indonesia khususnya film laga, dengan berbagai varian misalnya gabungan
silat dan horor, atau sekedar epigon film laga tenar Hollywood dan Mandarin,
dikenal cukup dominan di era 1980-an.
Film-film tersebut paling banyak mengisi bioskop kecil pinggiran
kota besar , terutama yang berlokasi dekat pasar tradisional atau pasar yang
dikelola PD Pasar Jaya. Nama-nama seperti Barry Prima, Advent Bangun, George
Rudy, Willy Dozan, adalah aktor bintang laga kita yang sangat terkenal, bahkan
Ratno Timoer yang sebelumnya adalah aktor film drama malah sampai akhir
hidupnya identik sebagai bintang film laga karena memerankan Si Buta dari Gua Hantu sampai 4 jilid.
Merujuk sejarahnya, produksi film laga (yang terkadang
dicampur silat, horor, juga seks) konon bisa dibilang menggiurkan walau masih
dalam selera “kelas B” alias tanpa cerita berbobot. Walau masih “kelas B”,
produser film Raam Punjabi sebelum menjadi ‘Raja Sinetron’ era 1990-an dengan
bendera Soraya Films-Parkit Films (yang juga terkenal memproduksi film serial
Warkop DKI) tahun 1987 tercatat pernah kerja bareng dengan sutradara Hollywood,
Charles Kauffman membuat film Peluru dan Wanita (beredar di AS dengan
judul Djakarta) dengan aktor AS,
Christopher North.
Film tersebut bukanlah film pertama yang merupakan joint production dengan produser film
asing. Dan, setelah itu, cukup banyak
produk serupa, macam Segitiga Emas, Blood Warriors a.k.a. Pertarungan, kerja bareng sutradara American Ninja, Sam Firstenberg, sampai
film-film yang juga dibintangi aktris AS yang semula sukses di jagat film
Mandarin, Cyndy Rothrock. Meski kualitas B, film tersebut juga diedarkan di
luar negeri untuk konsumsi bioskop, rental video Beta/VHS, sampai teater mobil
“drive in”. Sekitar 2010, beberapa film tersebut plus film silat ala Jaka Sembung, horor Ratu Ilmu Hitam, dll., malah beredar dalam bentuk DVD dengan sulih
suara dan judul bahasa Inggris.
“Balas dendam” yang juga menjadi judul buku setebal 500
halaman ini adalah tema sentral film laga kita seperti halnya tema cinta yang
tak pernah basi dalam plot film drama-roman. Pertanyaan mengusik yang kelak
dibahas di sini, apa dan bagaimana wajah kekerasan itu ditampilkan? Adakah
hubungannya dengan situasi politik Orde Baru, yang konon bisa ditafsirkan di
masa itu kepada para seniman serta pelaku industri kreatifnya di film “boleh bicara apa saja asal jangan
politik”? apakah film laga Indonesia hanya berhenti pada produk komersil semata
sehingga tak bernilai dibandingkan drama atau komedi?
Bagaimana setelah Orde Baru? Adakah perkembangan atau tetap
stagnan?
Di halaman 498 penulis menyebut, film laga kualitas B
tersebut memang ada unsur tersebut (“bebas asal jangan politik”) namun lebih
banyak sebagai keinginan menunjukkan produk film Indonesia mampu sejajar dengan
film laga barat, walau skala produksi kelas B yang dikenal dengan ciri berbiaya
rendah (untuk standar produksi Hollywood) tanpa cerita berbobot. Dari situ ada
celah ke pasar internasional untuk memproduksi film jenis itu. Apalagi adegan
laga seni bela diri martial arts terbukti
lebih mudah dipahami ketimbang genre komedi atau drama yang mungkin hanya mampu
“berbicara” di dalam negeri saja.
Memasuki era 1990-an hingga pertengahan 2000, produksi film
laga kita mulai meredup. Biaya produksi film laga jadi makin mahal jika
dikaitkan dengan impian ingin sejajar dengan film Hollywood yang makin tinggi
permintaan pasarnya. Salah satunya permintaan konsumen dengan produksi
menggunakan teknologi efek visual CGI (Computer Generated Images) yang
sebenarnya lama kelamaan di Barat karena semakin banyak, makin murah dan bukan
lagi hanya untuk sekedar kepentingan visual semata melainkan juga menekan biaya
produksi.
Hal tersebut lama-lama sulit dipenuhi produsen film kita, misalnya
sampai era 1990-an film laga impor dan berbagai genre lain, semuanya harus
memenuhi, sebagai syarat-paling tidak standar tata suara dolby-(ya, sekedar
contoh film laga kita baik untuk kelas B pasar internasional macam “Lady
Terminator” yang versi Indonesia-nya “Pembalasan Ratu Laut Selatan” masih
dikerjakan tata suara mono, saya sendiri mencatat yang “stereo” waktu itu
dipublikasi besar-besaran di media massa lokal era 1980-an hanya “Peluru dan
Wanita”) selain pasar film dalam negeri sendiri karena krisis ekonomi 1997 sedang
merosot tajam.
Uniknya penulis tak hanya berhenti pada “era keemasan” film
laga 1980-an, melainkan juga pasca Reformasi diawali film Gerbang 13(2004) setelah dicatat penulis film laga terakhir adalah Menentang Dendam (1999, aktor Barry
Prima) sampai yang kini masih dibicarakan banyak orang, The Raid (2012) yang mencuri perhatian di bawah arahan sutradara
asal Selandia Baru, Gareth Evans. Kalau era 1980-an film laga kita dengan aktor
Barat atau Indonesia ditempatkan sebagai konteks masyarakat metropolis yang
disesaki problem sosial kriminalitas, pasca Orde Baru penulis mencatat,
memunculkan distopia secara retorik (film Foxtrot
Six, 2019); ada semacam perjuangan melawan ketidakadilan yang sebenarnya
representasi cita-cita Reformasi yang semula diharapkan sebagai transisi yang
memungkinkan negara yang lebih kondusif tetapi seolah-olah tidak hadir (The Raid), (h. 507).
Kekerasan dalam film laga pasca Orde Baru bahkan cenderung mimetik
karena merupakan tiruan sejumlah peristiwa kekerasan yang kerap terjadi dalam
ruang publik atau bawah tanah yang tak pernah dilaporkan media massa di era
Orde Baru pun pasca Orde Baru (film The
Raid, 2012, 9 Naga dan Rantai Bumi,2006).
Buku ini cukup penting karena selain fokus kepada apa dan
bagaimana identitas film laga kita hingga masa kini di era Reformasi, ternyata
cukup lama produksi film laga setelah tahun 1968 tak bisa lepas dari bayangan
pengaruh film produksi para pengusaha Tionghoa dan Belanda sejak 1926 sampai
1941, selain tak bisa lepas dari dramaturgi model teater rakyat seperti pertunjukan
tonil ,lenong, ludruk, wayang orang, atau ketoprak. Film laga Indonesia
khususnya laga-seperti halnya karya seni lain-bukan entitas tunggal melainkan
tetap saja tafsir dari karya sebelumnya yang menjadi tema sentral cerita
wayang, cerita babad, pun kisah kriminal di surat kabar modern sehingga aksi
balas dendam tak melulu diartikan sebagai tindakan anti-moralitas.
Buku ini mencoba memaparkan sisi lain dari sekedar
membicarakan napak tilas sejarah film Indonesia yang tak bisa dipungkiri berumur
sangat panjang. Sisi lain yang cukup menarik di buku ini adalah menjadi traktat
budaya yang memaparkan begitu luas soal wujud identitas film Indonesia sendiri
yang sebenarnya hingga kini masih dalam tahap “terus mencari” (h. 491), di
samping penulis juga membicarakan film kita dengan genre lain yang mau tak mau
tetap sulit dipisahkan dari sejarah. Ini penting, lantaran produser dan sineas
film Indonesia pasca Orde Baru selain genre laga, juga sebelumnya membuat film iklan,
dokumenter, horor atau drama percintaan remaja.
Catatan menarik setelah membaca buku ini, ketika publik
internasional tengah terpesona dengan pencak silat yang di mata sineas Gareth
Evans sangat eksotik lewat The Raid,
sebenarnya ini juga sedikit pengulangan dengan tentu saja berbagai macam
modifikasi sebagai ciri sinema postmodernisme. Produk yang belum lama ini
beredar macam film Foxtrot Six, Buffalo Boys, pun Marlina –yang menurut saya sedikit terpengaruh film-film Quentin
Tarantino malah menunjukkan semacam hibrida estetika film Eropa dan Amerika
setelah di era 1980-an film laga kita sekedar epigon film laga tenar dari Amerika
(problem metropolis).
Buku ini membuat Anda peduli bahwa produk film kitsch mampu dibedah dengan sudut
pandang lain lebih luas, salah satunya tema cultural
studies yang dalam khasanah ilmu pengetahuan dalam dunia akademik kita
terbilang terlambat, sehingga sebelumnya kebanyakan dibuat penulis asing. Buku
ini juga memberi bukti bahwa penelitian dengan multi disiplin ilmu (dalam buku
ini ada filsafat hermeneutik) memberi bukti karya seni film mampu memberi
“arti” kepada masyarakat luas bukan sekedar ‘santapan’ dari studi film itu
sendiri.***
Donny Anggoro
Atas Nama Dendam: Wajah Narasi Film Laga
Indonesia. Penulis: Paul Heru Wibowo. Isi: 586 hlm. Penerbit: Excellent Group, Yogyakarta, 2019
6631 Kali