13 BUKU TERBAIK 2015 (Bagian Satu)
13 BUKU TERBAIK 2015 (Bagian Satu)

Oleh: Hikmat Darmawan

 

 

Di tengah era keberlimpahan data dan informasi melalui media digital kini, buku menjadi makhluk unik. Definisinya kini bergeser, tak lagi identik dengan benda fisik, sebuah wahana pengetahuan yang dicetak dan dijilid. Kini, buku tentu saja mewujud dalam bentuk digital yang lentur dan tak memerlukan banyak tempat penyimpanan. Hal ini memengaruhi arah industri perbukuan maupun definisi perpustakaan, misalnya. Lebih dari itu, cara penikmatan buku pun jadi lebih beragam.

Tapi, artikel ini tak hendak menyoal pergeseran-pergeseran itu. Artikel ini lebih sederhana: ingin meramaikan tradisi tahunan itu, menyusun daftar hal-hal terbaik di tahun yang sedang/telah lewat. Kali ini buku. Daftar buku terbaik 2015. Menurut saya pribadi, tentu. Daftar ini semacam rasa syukur akan nikmat kegiatan membaca buku, yang masih terasa sedap betapa pun industri serta konteks kulturalnya kini sedang berubah.

Tak usah lagi kita berpanjang kata tentang risiko penyusunan daftar semacam ini: keterbatasan subjektivitas, kelemahan metode dan kategori, dan sebagainya. Hanya saja, perlu ada semacam pertanggungjawaban. Pertama, daftar ini adalah daftar buku yang telah saya baca. Kedua, ini buku-buku ini terbit dan saya baca pada 2015. Ketiga, saya membaur kategori-kategori dalam daftar ini. Fiksi dan non-fiksi. Lokal dan luar negeri. Sastra, bacaan popular, komik, telaah, tak saya bedakan. Dan saya menikmati buku-buku di dalam daftar ini secara fisik maupun secara digital.

Daftar ini jelas tersusun dari campuran selera, kesenangan, keterbatasan, dan upaya penilaian rasional terhadap buku-buku yang saya baca selama 2015. Secara subjektif, tahun ini adalah tahun yang istimewa buat saya dalam hal perbukuan.

Ini tahun saya sangat konsumtif dalam soal buku. Tahun ini saya mulai membeli komik lawas Indonesia dari outlet kolektor, dengan harga kolektor. Bukan koleksi dan harga kolektor kelas kakap lah. Saya belum punya duit sebanyak itu. Saya membeli novel grafis Teguh Santosa, Anyer Panarukan, yang terbit pertama kali pada 1978, dalam keadaan bagus dan telah dibundel (ini sebetulnya mengurangi "keaslian" artefak komik di mata para kolektor) dan Lahirnja Sri Rama, karya Ardisoma, 1963.

Ini menyempal dari kebiasaan saya membeli buku loakan. Saya sering ketemu buku-buku yang layak disebut "koleksi para kolektor" dengan harga buku loakan belaka. Tapi, kali ini, saya dengan sadar membeli dengan lagak seakan seorang kolektor. Tepatnya, kolektor pemula. Sementara, kebiasaan saya membeli buku loakan pun tahun ini semakin menggila. Termasuk, tahun ini saya pertama kali berkunjung ke Eropa, dan sempat berbelanja komik serta buku obralan di Frankfurt, Brussel, Louven la Nouve, Brugge, Den Haag, dan Amsterdam. Meminjam istilah anak muda masa kini, itu pengalaman yang "cukup epik sih".

Ya, tahun ini jadi istimewa benar, karena juga saya terbetot dalam acara perbukuan internasional yang konon salah satu yang terbesar di dunia, Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Secara pribadi, ini penting buat perjalanan perbukuan saya. Inilah kali kedua setelah di Tokyo 2010 dulu, saya mengalami betapa gigantik dunia buku internasional. Kata kuncinya, mengalami. Mengetahui dari bacaan bahwa dunia buku umat manusia begitu luasnya adalah satu hal. Mengalaminya sendiri di situs-situs perbukuan dunia, adalah hal lain yang sungguh mengesankan. Saya masih norak dalam hal ini.

Maka, ada semacam hantaman bagi ego: apa yang telah saya ketahui dalam benak,tahun ini menjadi empirik �mau bagaimana pun, akan ada terlalu banyak buku daripada yang bisa saya baca seumur hidup saya. Maka, jelas belaka bahwa saya harus mengasah terus kemampuan saya memilah dan memilih, menyeleksi dan menganasilis, buku mana yang harus saya baca. Dan saya harus ikhlas, bahwa saya tak akan mampu merangkul seluruh peradaban buku yang telah ada.

Di sisi lain, dengan segala pengalaman itu, harus saya katakan bahwa saya kurang mengikuti perkembangan buku dunia, termasuk yang lokal, setiap tahunnya. Malah, pada 2015 ini, saya betul-betul gandrung pada buku-buku lama. Tahun ini adalah juga tahun saya kembali menemukan keasyikan membaca novel dan cerpen.Betapa banyak buku lama yang baru saya temukan di tahun ini. Ada juga buku-buku lama yang saya baca ulang. Kumpulan cerpen Yudhistira Massardi, Setyagraha Hoerip, tetralogi Bumi Manusia (saya langsung membaca Jejak Langkah).

Atau, novel-novel yang terbit beberapa tahun lalu, tapi baru saya baca sekarang. Salah satu novel paling mengesankan yang saya baca tahun ini adalah A Sense of Ending karya Julian Barnes, yang memenangi Man-Booker Prize 2011 (beberapa tahun belakangan, nominator dan pemenang Man-Booker Prize kembali menarik, setelah masa puncaknya pada era akhir 1980-an hingga 1990-an) dan Goldfinch karya Donna Tartt yang terbit pada 2013. Salah satu komik atau novel grafis terbaik yang saya baca tahun ini adalah Atom Jardin karya Yudha Sandy, terbitan 2014. Tentunya, tidak bisa masuk daftar ini.

Apa boleh buat. Walau pilihan bacaan terbitan 2015 saya terbatas, daftar ini tetap saya susun. Ukuran utama saya, pada akhirnya, adalah keasyikan yang saya alami dalam membaca buku-buku ini. Dan saya ngotot menyusun daftar ini, karena ingin berbagi keasyikan itu. Sembari ada semacam waham ambisius juga �saya ingin sekali urun upaya melambungkan kembali budaya literer (bukan sekadar budaya membaca atau membeli buku) di Indonesia, atau paling tidak, di sekitar saya. Keterangan soal ambisi ini akan saya tuliskan di kemudian hari.

Untuk kali ini, saya mencukupkan pada upaya sederhana dulu. Inilah daftar buku terbaik 2015, menurut saya.

 

 

13.

100 Tahun Musik Indonesia

(Denny Sakrie, Penerbit: Gagas Media)

 

Buku ini terasa sebagai sesuatu yang belum selesai. Judulnya mungkin terlalu gagah menjanjikan sebuah rentang bahasan sejarah musik Indonesia, sementara ternyata isinya adalah kilasan-kilasan sejarah musik popular. Tapi, Denny Sakrie almarhum menulis buku ini (masih belum tuntas sebetulnya, saat ia wafat pada 3 Januari 2015) dengan energi babat alas yang kuat. Masalahnya memang demikian: lanskap sejarah musik popular Indonesia terlalu luas yang belum dituliskan.

Dengan gaya jurnalistik ringan, Denny Sakrie mengajak kita menyusuri musik popular Indonesia sejak bisnis rekaman pertama di Hindia Belanda pada 1905, ketika Tio Tek Hong mulai menerbitkan plaatgramofoon dan menyebarkannya ke seluruh wilayah Hindia. Pusat bisnisnya di Passerbaroe, lagu-lagu yang direkam mencakup stambul, keroncong, gambus, kasidah, musik India, swing, hingga irama Melayu.

Telusur ringan ini diteruskan Denny dengan banyak mencuatkan pemusik, genre, atau momen yang ia anggap sebagai tonggak-tonggak dalam sejarah musik pop kita. Denny juga menebarkan foto-foto koleksi pribadinya yang memberi gambaran suasana musik pop kita dari masa ke masa.

Walau buku ini tak sempurna, tapi kita bisa menangkap bahwa yang dimiliki oleh Denny Sakrie bukan sekadar data kering atau sekumpulan pengetahuan geeky soal musik, tapi juga perspektif yang dibentuk oleh pengalamannya yang banyak sisi dalam menyelami musik popular Indonesia. Saat-saat menjelang kematiannya, Denny Sakrie sedang bersemangat merencanakan banyak buku seputar musik Indonesia. Misalnya, tentang musik Melayu dan Dangdut Indonesia yang boleh dibilang khas dalam sejarah musik pop kita.

Adakah yang bisa meneruskan?

 

 

12.

Batgirl, Vol. 1: The Batgirl of Burnside

(Brenden Fletcher, Cameron Stewart & Babs Tarr, Penerbit: DC Comics)

Ms. Marvel

(G. Willow Wilson & Adrian Alphona, Penerbit: Marvel Comics)

 

Dua seri komik ini penting menurut saya karena secara sempurna menggambarkan alam hidup generasi millennial. Oke, mari kita sebutkan dulu disclaimer-nya: keduanya berlatar Amerika, jadi tentu saja ini gambaran generasi millennial di sana.

Tapi, cobalah baca dulu, dan kita bisa menemukan banyak hal serupa dengan alam hidup millennial yang kita jumpai di sekitar kita �termasuk, Anda, pembaca artikel ini yang mungkin saja termasuk generasi itu (menurut beberapa lembaga penelitian, termasuk PEW Research, millennial adalah generasi yang lahir antara 1980-2000). Kelekatan dengan gawai (gadget), cara pikir yang ditentukan Teknologi Informasi, dunia media sosial sebagai kenyataan dominan, sikap santai tapi galau terhadap berbagai hubungan antarmanusia (pertemanan hingga cinta), kegamangan identitas, dsb.

Pada Ms. Marvel, persoalan identitas dan keberbedaan budaya sungguh nyaring karena tokoh superhero Ms. Marvel kini dikisahkan nemplok jadi identitas rahasia seorang remaja muslim Amerika, Kamala Khan. Yang mengasyikkan dan terasa akurat dari latar kultural Islam-Amerika di komik ini adalah sikap santai dan penuh gurau seputar pergesekan budaya asal (Islam/Pakistan) dengan budaya besar Amerika yang pop dan secular �gurau-gurau yang terasa benar dibuat dari dalam komunitas Islam-Amerika.

Soal keberbedaan budaya itu juga muncul di seri Batgirl, lewat tokoh Nadima dan Qadir yang membantu Barbara Gordon/Batgirl jadi superhero sekaligus berjuang menyelesaikan tesisnya. Ya: tesis. Saya jatuh cinta pada Babs ketika asisten profesor berkenalan dan menyatakan suka pada tesis Barbara yang "�menggunakan semacam algoritma prediktif untuk pemetaan sosial".

Dan itu bukan sekadar genit-genitan. Dalam perkembangan cerita, tesis Babs itu berperan penting dalam bangunan kisah laga yang ternyata pada dasarnya menyoal dilema membangun identitas di dunia yang didominasi media sosial kini. Seri ini membawa kita masuk ke sisi dalam dunia teknologi informasi, dengan tekanan soal relasi teknologi dan kehidupan kita. Cobalah tengok bagaimana Barbara/Batgirl memutuskan membuka akun media sosial semacam Instagram: alasan selfie paling jitu yang pernah saya baca! 

 

11.

Ripper

(Isabel Allende, Penerbit: Harper Collins)

 

Tahun ini saya menemukan kembali keasyikan membaca fiksi, dan salah satu yang saya kunjungi adalah The Stories of Eva Luna (1989) karya Isabel Allende. Dia yang masyhur karena House of The Spirit dan dianggap seorang pengarang realisme magis bercorak feminin yang terkemuka, menggoreskan suasana bagai mimpi lewat prosanya di buku itu. Bayangkan betapa ngebet saya ketika melihat novel Ripper: Isabel membuat cerita thriller-detektif!

Dan, betapa saya agak gamang, ketika di bagian-bagian awal Isabel menyuguhkan tuturan dengan bahasa prosa yang sederhana dan lugas, nyaris prosedural selayak laporan polisi.

Amanda Jackson adalah remaja cerdas yang mengatur RPG (Role Playing Game) bertajuk "Ripper" dengan pemain remaja dari berbagai belahan dunia (lewat internet, tentu). Permainannya adalah kisah detektif, dan Amanda mengusulkan bagaimana jika para pemain memecahkan misteri pembunuhan yang nyata, yang terjadi di San Fransisco, tempat Amanda tinggal. Ia hidup dengan ibunya, Indiana Jackson, seorang bohemian dan tabib new age.

Paragraf pertama novel ini menerangkan bahwa Indiana akan mati, dibantai seorang pembunuh serial, jika Amanda dan polisi telat memecahkan misteri pembunuhan berantai yang menghantui kota mereka selama tiga bulan terakhir. Novel ini mengisahkan tiga bulan menuju adegan di awal buku, lalu ketegangan saat-saat terakhir memecahkan misteri.

Sungguh, saya selalu memuja genre misteri-detektif. Saya sukacitaIsabel mencebur ke genre ini. Jadi, mungkin saja saya terlalu subjektif menyukai novel ini. Walau pun di bagian awalnya tuturan dan gaya bahasa novel ini terasa jauh dari dunia Eva Luna yang magis dan bagai alam mimpi, tapi ciri khas prosa Isabel merembes kembali di bagian tengah dan bagian-bagian adegan seks di novel ini. Isabel adalah salah satu pengarang yang sangat berbakat menutur kisah erotik-sangat-sensual dari sudut mata perempuan.

Dan, saya kira, Isabel pun berbakat dalam menulis thriller-detektif. Ia tak menjungkir naratif cerita detektif macam Roberto Bolano di Savage Detectives, atau Paul Auster dalam City of Glass, atau Mo Yan dalam Republic of Wine, atau Orhan Pamuk dalam The Black Book. (Saya sengaja pamer nama dan judul novel, untuk menarik perhatian Anda pada berbagai percobaan naratif misteri-detektif yang asyik, siapa tahu Anda mau mencari buku-buku itu.)

Toh, menulis dalam pakem sebuah genre secara relatif taat, tidak mengurangi keasyikan sebuah cerita yang ditulis dengan mumpuni.

 

10.

Melihat Api Bekerja

(Aan Mansyur, Penerbit: Gramedia)

 

Ini buku yang lezat di mata. Bukan hanya karena gambar-gambar Emte yang menafsir bebas puisi-puisi Aan Mansyur, tapi juga karena desain keseluruhan buku ini. Juga, terasa, bahwa puisi-puisi Aan di sini sungguh sadar-grafis. Entah itu sengaja atau tidak. Hal ini pula yang dibahas esai Sapardi Djoko Damono untuk mengantar pembaca ke buku ini.

Sapardi berpijak pada tanya, apakah Aan menulis puisi dengan kesadaran bagaimana efeknya ketika puisi itu diperdengarkan atau ketika puisi itu dibaca,dilihat?Di satu sisi, patahan-patahan kalimat dan susunan kata puisi-puisi Aan di sini terasa tak ketat, tak berhasrat memeras kata dan ide jadi sebuah saripati bahasa.

Puisi-puisi Aan lebih terasa seperti sebuah obrolan lisan penuh lanturan. Ada banyak rujukan dan pengalimatan yang terasa cerdas dan menyaran suasana puitik tertentu, tapi jika kita lisankan puisi-puisi ini akan terasalah suasana obrolan itu. Namun, menariknya, obrolan-obrolanitu terasa intim, sekaligus terasa filmis. Menjadi logis belaka jika puisi-puisi ini dikawinkan dengan tafsir grafis dalam gambar-gambar Emte dan desain yang sedemikian asyik.

 

9.

Sandman: Overture

(Neil Gaiman&JH Williams III, Penerbit: DC/Vertigo Comics)

 

Mitra gambar terbaik Neil Gaiman adalah Dave McKean. (Tapi, McKean adalah mitra gambar terbaik bagi penulis cerita komik mana pun. J) Sekarang, Gaiman telah menemukan penerus McKean �JH. Williams III. Seperti McKean, keterampilan menggambar Williams bukan hanya tinggi, tapi juga punya cakupan gaya yang luas.

McKean lebih unggul dari Williams dalam hal tarikan garis dan eksperimentasi medium. Tapi, Williams lebih unggul dari McKean dalam hal imajinasi desain panil dan halaman komik. Silakan ikuti karya-karya Williams di seri Promothea (bersama Alan Moore), Seven Soldiers (bersama Grant Morrison) dan Batwoman. Dan dalam kisah terbaru Sandman kali ini, imajinasi desain dan keterampilan gaya Williams seolah meledak, mengimbangi cerita Gaiman yang berskala kosmis.

Dari segi cerita, Gaiman agak "nekad" memasuki suatu hal musykil: mencoba memadu dua arketip dasar dan besar dari cerita fantasi. Di satu sisi, dunia fantasi berbasis mitologi dewa-dewi yang telah mapan dalam rangkaian kisah Sandman; di sisi lain, dunia cerita berbasis spekulasi fisika tentang dunia paralel. Dan, Gaiman berhasil mengatasi perpaduan yang musykil ini dengan anggun. Maka demikian, kita menjumpai ratusan (atau 52, seperti jumlah semesta cerita DC?) versi Sang Dewa Mimpi dari berbagai dunia paralel.

Cerita ini terbagi enam bagian, terbit pertama kali sebagai mini seri komik. Penerbitan antarnomor bisa terlambat hingga berbulan-bulan. Tapi, melihat hasilnya, memang tak apa terlambat demikian.

07 Januari 2016
Dilihat sebanyak
9376 Kali
Lainnya...
MEMBURU MUHAMMAD: Keresahan yang Akhirnya Terwakilkan
MEMBURU MUHAMMAD: Keresahan yang Akhirnya Terwakilkan
MENCARI IDENTITAS DALAM FILM LAGA INDONESIA
MENCARI IDENTITAS DALAM FILM LAGA INDONESIA
Semesta Harry Potter, 19 Tahun Kemudian
Semesta Harry Potter, 19 Tahun Kemudian
 1 23     >>>
Pabrikultur © 2015