DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI Dan Resepsi Sastra ke Layar Lebar
DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI Dan Resepsi Sastra ke Layar Lebar

Ulasan Donny Anggoro

 

Saya merasa bahwa 2019 sepertinya ada angin segar buat film Indonesia. Sebutlah untuk superhero ada Gundala, juga sebelumnya ada film fiksi ilmiah Tengkorak, film laga Foxtrot Six, film horor komedi yang tak sekedar konyol, Ghost Writer, dan film biopic petinju Elly Pical.  Lainnya yang menarik adalah dua novel sastra karya Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dan Perburuan, yang menurut saya adalah resepsi sastra ke layar lebar. Kali ini, giliran Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) jadi salah satu resepsi sastra yang cukup menarik saat menjadi film.

Cerpen aslinya beredar 1995, sementara dari bukunya sempat beredar versi barunya tahun 2001. Uniknya, pada 2001 itu, SGA sendiri dalam buku itu sudah menulis ulang dengan penambahan seperlunya cerpen ini untuk kebutuhan janji seorang produser film yang mau memfilmkannya. Sejak 2001, butuh waktu 18 tahun akhirnya film ini terwujud. Saya pernah sungguh kecewa pernah menonton film Penari yang merupakan adaptasi cerpen SGA, Matinya Seorang Penari Telanjang.

Jelaslah dalam diri saya muncul ekspetasi lumayan tinggi untuk filmnya yang 18 tahun kemudian baru bisa difilmkan. Beruntung, “ekspetasi lumayan tinggi” ini rada terpuaskan meski lagi-lagi masih ada sedikit “bolong”.

Film ini dibuka dengan lanskap kota metropolitan Jakarta dari supermewah perlahan mengarah ke gang sempit kumuh Jakarta dengan pengambilan gambar ala “bird view”. Sebuah pembukaan yang menarik, dan rupanya untuk seterusnya diputuskan film ini tetap bersetia kepada cerpennya lewat pelbagai adegan dan dialog teatrikal.

Misalnya, ketika Pak RT dalam cerpen aslinya bermonolog divisualisasikan dia bicara di kantor kelurahan dengan beberapa orang menimpali omongnnya satu per satu sambil membaca dan memegang koran. Mungkin kalau kurang setia dengan cerpennya, adegan ini akan aneh sebagai film. Tapi, sedari awal, film ini tampak kukuh dengan materi aslinya, sehingga kesepakatan yang diambil adalah adegan  teaterikal.

Sebuah keputusan yang menarik karena di beberapa adegan cukup berhasil, tapi lama-lama “kedodoran”  juga. Semisal ketika ibu-ibu mengajukan protes agar perempuan Sophie yang terlalu seksi dan dianggap “mengganggu” karena merasuki imajinasi suami-suami mereka. Ibu-ibu itu minta Sophie diusir, dan lalu terjadi pengulangan dialog berlebihan, juga suara pemain yang jika marah terlalu sering berteriak sehingga sempat beberapa menit membosankan buat saya.

Keputusan untuk membuat film ini kepada adegan teaterikal tampaknya cukup menarik dan jarang dilakukan sineas Indonesia belakangan ini. Saya jadi terkenang beberapa film komedi Putu Wijaya, seperti Cas Cis Cus (1989) atau Ucik Supra  dengan Badut Badut Kota (1990). Juga melakukan pendekatan teatrikal yang kental, film-film Teguh Karya era 1980-an yang memang berasal dari sutradara Teater Populer. Jangan-jangan untuk masa kini, pendekatan teatrikal ini bisa kurang dipahami calon penonton yang tidak atau bukan pembaca SGA. Saya mencatatnya sebagai salah satu kekuatan sekaligus kelemahan film ini jika dilihat dari sisi bukan pembaca cerpen aslinya.

Kemudian pernyataan di film ini “mungkinkah kita mentertibkan imajinasi?” rasanya dalam film ini selain sarkastik juga masih kontekstual. Ingat saja, begitu banyak adegan film lama Indonesia yang ditayangkan kembali di berbagai stasiun televisi swasta “terpaksa” disensor ulang dengan cara memburamkan –konon ini untuk menghindari teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kenyataannya pada hari ini batas sensor terutama yang dilakukan berbagai stasiun televisi kita cenderung berlebihan, bahkan mengganggu estetikanya sendiri. Misalnya adegan orang sedang merokok saja dikaburkan.

Dalam film ini pun apa yang dimaksud “imajinasi yang mengganggu” itu bermakna ganda: imajinasi para suami membayangkan tubuh indah Sophie atau imajinasi para istri yang membayangkan “kehancuran” romantisme kehidupan mereka? Ini cukup menarik sebagai gagasan yang kurang lebih sama dengan cerpen aslinya.

Secara keseluruhan, film ini menambah daftar adaptasi cerpen ke film kita yang cukup berhasil, mengingat sudah terlalu lama tak banyak film kita diangkat dari buku atau cerita yang baik, meski tetap ada ‘bolong’nya juga.

Harapan lain semoga setelah film ini nanti semakin rajin produser film kita berani mencari ide cerita dari beragam novel atau buku yang memang ditulis dengan disiplin sastra. Bukankah konon 80% film baik di seluruh dunia diangkat atau diadaptasi dari buku yang baik pula?***

 

DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI, Sutradara, skenario, dan produser: John De Rantau. Pemeran: Elvira Devinamira, Mathias Muchus, David John Schaap, Yuyu Unru.

 

21 Juli 2019
Dilihat sebanyak
2680 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015