Subuh pagi itu saya bangun, dan beberapa adegan Dua Garis Biru, yang saya tonton malam sebelumnya, dengan erat masih terngiang-ngiang dan mencengkeram benak.
Masih segar dalam ingatan saya, tidak hanya adegannya,
tapi bahasa audio-visualnya (misalnya, kapan kamera diam dan kapan bergerak)
dan unsur-unsur yang ada dalam layar (mise-en-scene)
yang sekilas mungkin terkesan remeh
temeh namun turut menentukan pemaknaan: ondel-ondel, stoberi, lagu Jikalau-nya Naif, bahkan suara dari GPS
“Jalan buntu. Putar balik”.
Semua adegan-adegan itu berlompatan dalam benak saya dengan
keterkaitannya dengan satu dan hanya satu pertanyaan “What If”: “Bagaimana
jika putri saya mengalami apa yang
dialami Dara, hamil di luar nikah di saat masih sekolah?”.
Bagaimana jika putri saya, yang ceria dan bersahabat, penuh
percaya diri, dan punya segudang impian, kemudian harus dibebani dengan
problematika yang sangat berat: menjadi gunjingan sekitar, potensi mengalami hal-hal buruk dari segi
kesehatan akibat hamil di usia dini,
barangkali kawin muda dan terbatasnya upaya eksplorasi kehidupan dari
perspektif seorang remaja karena harus mengasuh anak, dan…kemungkinan mengubur
semua impiannya yang sudah di depan mata yang sudah ia bangun sedari kecil? Masa
depan suram? Bukti kegagalan menjadi orang tua?
Saat penonton, sahabat saya yang nobar di samping saya punya
concern yang serupa. Baginya, dan
bagi saya juga, film ini bisa menjadi semacam film horor.
Bagaimana
jikalau?
Oh ya, sebagai penyegar ingatan, ini kisah Bima dan Dara,
dua siswa SMA yang bersiap ujian
kelulusan, yang pacaran dan “kecelakaan”. Bima yang prestasi akademisnya buruk,
dari keluarga yang paspasan, tinggal di gang Jakarta, dari kelurga relijius.
Sebaliknya, Dara anak cemerlang, juara kelas, keluarga kaya yang punya kolam
renang di halaman belakang, dan tidak terlalu agamis. Dari sini saja sudah
terbayang bagaimana konflik demi konflik akan terjadi.
Agak “gagal paham” bagi saya kalau ada pendapat yang
menyatakan film ini “berbahaya” karena dianggap menganjurkan seks bebas.
Apalagi bagi yang sudah menonton. Karena tidak ada adegan erotis atau raniang
apapun dalam film ini. Adegan
“kecelakaan” itu hanya terjadi di lima menit pertama, itu pun tidak
diperlihatkan sama sekali.
Sebaliknya, film ini menunjukkan dampak-dampak buruk jika
hamil di usia remaja. Juga diskursus terkait kesehatan reproduksi dan
istilah-istilah umum terkait. Bisa dibilang, ini sebuah pendidikan seks
(bedakan dengan “pengajaran seks”) yang amat baik, dan bisa menjadi pemicu
diskusi antara orang tua dengan anak-anak ABG-nya.
Tapi, saya maklum jika isu “pendidikan seks”, seperti
kesehatan reproduksi, masih terasa tabu di Indonesia, walau amat penting
dilakukan. Di sekolah putri saya di Bristol, Inggris yang adalah negara maju,
isu ini juga cukup sensitif. Saat wacana ini hendak diperkenalkan ke anak kelas 3 SD, saya ikut
rapat sosialisasinya. Intinya, agar anak-anak SD tahu nama-nama organ tubuh,
dan perbedaan tubuh pria dan wanita dan agar mereka tidak memperbolehkan orang
lain (selain lingkaran dalam keluarga yang terpercaya dan dokter jika mesti
diperiksa) melihat dan menyentuh bagian-bagian intim mereka. Tiba-tiba seorang emak-emak
gempal bertato berdiri dan setengah menghardik: “Apa-apaan ini? Anak saya
terlampau kecil untuk paham soal ini. Apakah hal ini tidak terlalu dini?”.
Namun, sekarang, pelajaran itu menjadi wajib, di bagian biologi, walau cuma
beberapa pertemuan dan hanya membahas hal-hal mendasar saja.
Kembali ke Dua Garis
Biru.
Penggambaran Jakarta adalah hal lain yang menarik. Saat saya
mengulas Eliana-Eliana dan Rindu Kami Pada-Mu dalam tesis S2, saya
memakai istilah “Pintu Belakang Jakarta” (meminjam istilah dari Mas Seno Gumira
Ajidarma saat memberikan kata pengantar untuk buku skenario Eliana Eliana) dan “Mental Landscape”.
“Pintu Belakang” yang dimaksud adalah sisi lain Jakarta yang
(kala itu) jarang diperlihatkan di sinema Indonesia), suasana mal yang mau
tutup, perkampungan kumuh, pasar tradisional, dan sebagainya. Sedangkan “Mental Landscape” adalah sebuah lansekap
yang tidak hanya menggambarkan gedung fisik dan kota besar yang mati dan tanpa
nama, namun, mengutip Asrul Sani, “Jakarta yang memotret hidup, pandangan, dan
aspirasi dari penduduk Jakarta kelas-kelas tertentu” (Jufri (eds.) 1992: 21),
bukan yang mengesankan Jakarta yang “penuh kekosongan akan hal-hal spiritual”,
dengan karakter yang stereotype dan
tidak menangkap kondisi dan situasi masyarakat urban yang sebenarnya.
Dalam istilah Jaques Decornoy: Jakarta yang menjadi kota
dengan identitas abstrak. Andre Bazin
mempunyai istilah lain: “vitalitas spiritual” dari sebuah kota. Saat membela Voyage to Italy karya Rossellini, Bazin
menyatakan bahwa, walaupun tidak disyut di lokasi yang sebenarnya, tapi Naples
di kota itu tidak palsu karena punya kualitas dari keutuhan (the quality of wholeness) dari sebuah
kota dan disaring dari kesadaran dan perilaku karakter utamanya (Bazin 1972: 98-99). Dan karena itulah Bazin
menjuluki Rosselini sebagai “seorang seniman dengan vitalitas spiritual yang
langka”. Pendek kata: kota yang tergambar adalah kota yang menggarisbawahi
pencapaian dan kemajuan manusia.
Dua
Garis Biru, dalam konteks ini, berhasil mengetengahkan “mental landscape” dengan mengeksplorasi ruang-ruang kumuh, seperti
perumahan dan gang-gang yang sempit dan selalu dilalui motor, jembatan. Dalam
beberapa adegan ketika para tokoh utama melewati
gang-gang itu, tampak pemetaan tipologi
penduduk dan tradisi di antara mereka. Misalnya, terbetik berbagai problematika
rumah tangga dan perkara keuangan. Juga keguyuban yang masih terjaga, seperti
yang tercermin saat salah satu warganya ada yang wafat. Tidak hanya kelas bawah, film ini juga
menggambarkan sisi kelas atas.
Singkatnya, Ini adalah salah satu film Indonesia terbaik tahun ini yang saya tonton sejauh ini.
Tontonlah selagi masih di gedung bioskop.
Dan adegan-adegan itu masih saja bergentayangan dalam benak saya. Bagaimana jikalau….
Jikalau telah datang waktu yang dinanti
Ku pasti bahagiakan dirimu seorang
Kuharap dikau sabar menunggu.
(Naif, Jikalau)***
(Ekky Imanjaya,
dosen prodi Film, Universitas Bina Nusantara)
DUA GARIS BIRU, Sutradara & skenario: Ginatri S. Noer, PT. Kharisma Starvision Plus & Wahana Kreator (2019)
7042 Kali