27 STEPS OF MAY: SUATU REFLEKSI PRIBADI
27 STEPS OF MAY: SUATU REFLEKSI PRIBADI

oleh Mahardhika Sjamsoeo’oed Sadjad

 

 

Tadinya saya sama sekali tidak berniat menonton 27 Steps of May.

Film dengan adegan pemerkosaan dan kekerasan seksual selalu membuat saya takut duluan. Saya bukan seorang movie buff. Jadinya cenderung mencari film yang ringan-ringan saja untuk dijadikan alat hiburan. Terlebih semua teman yang tertarik menonton 27 Steps of May sudah menontonnya, sehingga jika ingin, saya harus nonton sendiri. Tetapi, karena semua teman sangat memuji film ini dan saya terdorong rasa fear of missing out yang kuat, akhirnya saya membeli juga tiket di XXI Plaza Senayan. Sepuluh menit setelah film selesai, saya terduduk di toilet teater, masih saja belum bisa menghentikan tangisan yang sudah mulai semenjak seperempat awal film dimulai.

Mengapa 27 Steps of May bisa berdampak begitu kuat?

Beberapa teman yang sudah menontonnya mewanti-wanti bahwa film ini memerlukan trigger warning, peringatan di awal agar penonton tahu bahwa ada adegan-adegan yang berpotensi membangkitkan trauma. Karena sudah diperingati demikian, I considered myself warned, saya merasa sudah siap. Sebelum film dimulai, saya mengulang-ulang di kepala bahwa akan ada adegan kekerasan dan menyiapkan mental untuk menghadapinya. Namun, yang tidak siap saya hadapi adalah adegan tanpa kekerasan fisik yang justru lebih berdampak kuat terhadap emosi saya.

Delapan tahun setelah diperkosa dengan kejam oleh sejumlah pria tak dikenal dalam perjalanannya pulang, kita diperkenalkan kepada rutinitas hari May. Pagi-pagi, dia berolahraga lompat tali, menghitung jumlah boneka buatannya yang tertata di lemari, menyeterika pakaian dengan teliti, dan menyanggul rambutnya dengan rapi. Sang Ayah lalu mengetuk pintu dan mengangkatkan meja kerja May hingga pintu kamar, tetapi dia tidak diperkenankan masuk sehingga May menarik sendiri mejanya ke dalam. May kemudian memberikan boneka-boneka yang sudah siap dijual dari pintu kamarnya kepada Sang Ayah, yang kemudian mengepak dan menyerahkan kepada seorang kurir boneka sekaligus temannya. Setiap hari dilalui dengan May menjahit baju boneka dari dalam kamar dan Sang Ayah membuat pola kain di atas meja makan depan kamarnya.

Ada batas yang tidak terlihat dimulai dari pintu kamar May, yang hanya bisa dilalui olehnya saat makan. Ruang dan batas-batas yang tersurat maupun tersirat sepertinya menjadi metafora penting dalam cerita ini. Mungkin bagi May, yang otonomi tubuhnya telah terlanggar saat diperkosa, menjaga keutuhan ruang pribadi menjadi hal yang sangat diperlukan. Sang Ayah dengan bijak menghormati sekali batas-batas tersebut meski kadang terlihat berat baginya.

Rutinitas ini terus berulang. Sang Ayah berkata kepada temannya, rutinitas inilah yang memungkinkan May bertahan.

Menonton Sang Ayah hadir secara bisu mendukung May sungguh mengharukan (someone please build Lukman Sardi a shrine to honour his performance!). Meski dialog sangat minim, terasa sekali emosi Sang Ayah yang tidak ingin mengintervensi dalam kehidupan May yang masih memproses traumanya. Setiap kali dia melirik diam-diam ke arah May, seakan ingin bertanya atau menyampaikan sesuatu tetapi takut membuat situasi semakin buruk, saya tersentuh sekali. Setiap orang di sekitar Sang Ayah menuntut dia untuk move on dari tragedi yang terjadi delapan tahun silam. Tetapi kebutuhan melindungi sekaligus rasa bersalah dan pasrah membuat Sang Ayah memberikan May keleluasaan yang dia butuhkan untuk mengatasi trauma dengan cara dan waktunya sendiri. Tapi, sang Ayah tak punya pergulatannya sendiri. Di luar rumah, ia mencari pelampiasan dalam olahraga keras: tinju.

Waktu menjadi satu hal yang menarik sekali untuk dikaji dalam cerita ini. Kita, sebagai penonton, hadir di masa transisi bagi May. Kita tidak menonton masa ketika dia baru saja menjadi korban pemerkosaan. Kita tidak tahu, dan juga tidak perlu tahu, apa yang terjadi setelah dia pulang pada malam naas itu, bagaimana dia memulai rutinitas berpakaian warna netral, memakan makanan serba putih, maupun bagaimana dia mendapatkan keterampilan membuat boneka. Delapan tahun setelah pemerkosaannya, penonton berjumpa kembali dengan May yang saat itu mungkin mudah dipandang sebagai korban. Namun, kita perlahan menyadari bahwa May sekaligus seorang yang telah berhasil bertahan hidup meski dengan penuh trauma dan persoalan kejiwaan.

27 Steps of May menekankan lama dan rumitnya mengatasi trauma kekerasan seksual, tetapi sekaligus menghadirkan harapan bagaimana seseorang dapat berproses dari victim menjadi survivor.

Suatu hari rumah di belakang rumah May mengalami kebakaran, sehingga mengakibatkan retak kecil di kamarnya. Retak kecil ini sangat mengusik May yang tampaknya menderita Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) sehingga memaksa dia melakukan perubahan dari rutinitas dengan menggeser lemari bonekanya untuk menutupi retak. Saat ini terjadi, seperti biasa, Sang Ayah sembunyi-sembunyi menonton dengan heran campur cemas dari luar kamar agar tidak melanggar batas ruang May.

Retak ini semakin lama semakin besar hingga May bisa mengintip ke balik tembok dan berkenalan dengan seorang pesulap pria. Seperti banyak hal dalam film ini, nama maupun latar belakang pria ini tidak dijelaskan. Namun, salah satu keindahan 27 Steps of May adalah kurangnya informasi sama sekali tidak mempengaruhi alur cerita. Sebaliknya, banyaknya hal yang tidak disampaikan dapat menambah ruang bagi penonton berimajinasi dan melakukan interpretasinya sendiri.

Kian hari hubungan May dan Si Pesulap semakin erat. Setiap malam ketika Sang Ayah pergi menyalurkan amarah melalui pertandingan tinju, May pelan-pelan membangun pertemanan dengan Si Pesulap. Pada pagi hari, Sang Ayah yang tidak mengetahui soal ini menonton dengan heran, cemas, sekaligus senang ketika May sedikit-sedikit beralih dari rutinitasnya.

Kalau dipikir-pikir, mudah sekali menganggap alur cerita dengan seorang pesulap di balik dinding sebagai hal yang absurd. Tetapi para pemain dan pembuat film lihai sekali menjaga interaksi antara May dan Si Pesulap sehingga penonton terbawa ke dalam suatu dunia ajaib, tetapi dengan tetap berpijak pada realitas trauma. Hubungan May dan Si Pesulap terasa intim tanpa terasa dipaksakan. Ketika rasa cemburu May terusik oleh perempuan-perempuan lain yang hadir dalam hidup Si Pesulap, dia tidak bereaksi secara berlebihan. Malah ini menginspirasi May memandangi tubuhnya sendiri sebagai seorang wanita, mungkin untuk pertama kalinya sejak dia diperkosa. Sentuhan-sentuhan antara May dan Si Pesulap juga menarik sekali untuk diamati – sangat lembut dan terkadang ragu, kontras sekali dengan kekejaman sentuhan para pria pemerkosa May.

Seorang teman yang menonton film ini sempat berkomentar, “Agak kepikiran juga sih apakah kehadiran Si Pesulap kembali mereproduksi ide perlunya peran pria sebagai penyelamat perempuan? Ah… Tapi rasanya tidak juga.”

Dinamika power antara May dan kedua pria dalam hidupnya, Sang Ayah dan Si Pesulap, sangat kompleks. Di satu sisi, penonton diperkenalkan kepada May sebagai seorang penyintas. Dia bahkan tidak sanggup keluar kamarnya, apalagi menjalani hidupnya tanpa bantuan. Sebaliknya, Sang Ayah adalah seorang petinju/ pertarung yang hampir selalu menang dan Si Pesulap adalah karakter yang tampak memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Namun, sepanjang cerita, May-lah yang menentukan langkah-langkah yang diambilnya dan kedua pria ini hanya mengikuti. May yang penasaran dan memutuskan mengintip ke balik tembok, May yang berinisiatif melewati lubang pada dinding guna membantu Si Pesulap dan dia juga yang menghentikan interaksi ketika terlalu jauh melampaui zona nyamannya. Saat ayahnya tidak dapat pulang setelah pertarungan, May tidak menangis. Sebaliknya, dia bertahan hidup dengan makanan yang ada, meski melanggar rutinitasnya yang hanya memakan makanan putih tak ternoda. May pula yang memutuskan pada klimaks film untuk merekayasa ulang pengalaman pemerkosaannya. Sepertinya ini adalah cara May menghadapi dan mengambil alih kuasa atas trauma yang selama ini menguasainya.

Sementara kedua pria “kuat” dalam hidupnya tidak memaksa May melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Malahan terkadang tampak jelas kebingungan pada wajah Sang Ayah dan Si Pesulap ketika menonton May tengah berproses dengan traumanya. Apalagi Sang Ayah yang selalu kuat dalam pertarungan tinju sering sekali tampak tidak berdaya saat berhadapan dengan putrinya. May, satu-satunya perempuan dalam cerita ini, menyelamatkan dirinya sendiri dengan dukungan positif dari pria-pria di sekitar dia. Masing-masing pemain menampilkan kerapuhan sekaligus kekuatan dengan sangat kompleks.  

Pada akhir cerita, ketika May akhirnya berhasil mengambil (yang saya asumsikan sebagai) ke-27 langkah dari kamarnya keluar rumah, dia melakukannya sendiri. Saat menonton, saya menahan nafas khawatir sekali kita akan dipaksa menerima akhir dimana May keluar menuju pelukan Si Pesulap. Thank goodness, we were spared a Hollywood ending! Dengan pakaian biru yang kontras dengan pakain rutin berwarna netral, May seakan memulai lembar baru dalam hidupnya sebagai survivor yang menyambut warna-warni masa depan yang cerah.***

 

16 Juni 2019
Dilihat sebanyak
2632 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015