KEKUATAN ITU BERNAMA SITI
KEKUATAN ITU BERNAMA SITI

Oleh: Hikmat Darmawan

 

Dalam SITI, tergambar betapa dalam lumpuh pun, lelaki masih mampu mendominasi perempuan. Tapi, film ini tak hendak menyajikan perempuan sebagai korban. SITI adalah sebuah narasi tentang kekuatan.

 

Sebaiknya langsung masuk saja ke filmnya. Penjelasan sutradara (Eddie Cahyono) bersama produser (Ifa Isfansyah) di Plaza Indonesia Film Festival 2015 tentang pilihan estetis mereka untuk memfilmkan SITI secara hitam putih dan rasio layar 4:3 sebetulnya agak tak nyambung dengan kenyataan filmnya sendiri. Mereka bilang, pilihan itu agar kisah SITI, gambaran hidup Siti si tokoh utama jangan terlalu indah atau agar terasa terbatas.

 

Padahal, warna hitam putih dalam film kiwari justru adalah sebuah stilisasi yang bisa menjebak: sebuah defamiliarisasi yang justru berefek penambahan bobot keindahan, stilisasi fotografis yang sedap di mata, eksotis.

 

Untung, wahai para penonton atau calon penonton, filmnya sendiri tak jadi sekadar ingin mengindah-indahkan penderitaan manusia. Keindahan pengucapan visual film ini tertakar dengan pas.Tercapai lah niatan yang saya asumsikan ada pada para pembuatnya, yakni ingin menajamkan nuansa keadaan manusia di sebuah tepi pantai yang miskin. Siti, dan keluarganya yang telah terjungkir oleh laut.

 

Hidup Siti dan keluarganya, kemiskinan dan kesumpekan pilihan hidup mereka, terasa sureal. Bukan karena berbagai stilisasi visual itu. Coba bayangkan. Siti (Sekar Sari) harus hidup sebagai hostess Karaoke Dangdut di waktu malam, ibu seharian, penjual piyik jingking (rempeyek kepiting) di tepi pantai Parangtritis, istri yang harus ikhlas mengurusi suaminya yang lumpuh seluruh badan, dan perempuan penggoda seorang polisi muda yang ganteng, agak korup, tapi sebetulnya cukup tulus kepada Siti.

 

Pernah ada seniman, perupa, yang menulis bahwa kenyataan sosial di Yogyakarta, atau di Indonesia, adalah "sureal". Mungkin, seniman lain akan dengan mudah memilih menyebut "absurd". Yang hendak ditangkap oleh istilah-istilah gagap ini adalah keadaan yang serba bertabrakan antara yang normatif dengan yang dipraktikkan, antara yang diajarkan dengan yang dikerjakan, antara yang jadi impian dengan yang harus dijalani. Malah, semakin sureal lagi ketika kenyataan ternyata bisa bertabrakan dengan kenyataan lain, tumpang tindih, tak terpahami dalam sekilas lihat.

 

Misalkan pantai. Para pengunjung dari pusat-pusat datang membawa keinginan pantai itu harusnya seperti apa. Angin yang deras, ombak menghempas, senja yang bisa digunting jadi kartu pos untuk kekasih. Oh, sekarang kartu pos pengirim senja sudah lebih mudah: potret pakai gawai di tangan, kirim lewat Instagram atau Facebook, atau kalau mau one on one ya lewat aplikasi Whatsapp atau Telegram. Pantai adalah tempat leyeh-leyeh liburan, piknik, makan-makan keluarga, lalu pulang, kembali bekerja, dan semoga selalu bahagia.

 

Dalam bingkai pantai demikian, para penjaja yang menyapa, menjual hal-hal remeh seperti rempeyek, hanyalah latar belakang yang sayup dan melintas selewat demi selewat. Padahal mereka pun punya cerita. Eddie Cahyono memusatkan perhatian pada yang remeh dan di latar belakang itu. Ibu-ibu dan mbak-mbak penjual rempeyek kepiting yang tidak kita beli, adalah individu-individu yang punya keresahan, kebutuhan-kebutuhan, hasrat, dan kekecewaan-kekecewaan.

 

Yang dibutuhkan untuk menangkap cerita-cerita mereka bisa jadi hanyalah kamera, dan kehendak mengikuti mereka. Eddie Cahyono menyempatkan kameranya mengikuti Siti dan Darmi (Titi Dibyo) berjalan kaki di jalan dalam terik dari rumah mereka ke pantai, dan mobil-mobil melintas sekilas-sekilas dalam bingkai kamera. Di situ, mobil-mobil itulah yang latar. Eddie menyediakan waktu film untuk sabar mengikuti rutinitas rumah sempit mereka setiap hari. Banyak long take dan percakapan-percakapan maupun laku diam di rumah dalam film ini terasa wajar –cermin kematangan sang sutradara.

 

Kesabaran untuk menatap dunia Siti itulah yang melahirkan perasaan penonton (saya) bahwa hidup Siti adalah berharga. Menggoreng rempeyek dan telor ceplok, membangun dan memandikan Bagas (Bintang Timur Widodo, yang punya alkemi yang baik dengan Sekar Sari) untuk bersiap sekolah, menemani Bagas membuat PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah, menyuapi Bagus (Ibnu Widodo) sang suami yang tampak selamanya geram, dan seterusnya.

 

Keberhasilan Eddie sebagai sutradara tampak dalam salah satu adegan yang bagi saya luar biasa: adegan Siti mengganti pakaian di hadapan suami lumpuhnya, dari baju sehari-hari menjadi kostum malam hostess karaoke kelas bir oplosan. Dalam adegan yang perlahan itu, kamera bekerja sama dengan cermin lemari tua, menyaksikan bagaimana Siti melucuti identitas perempuan aseksual (ataukah lebih tepat, "asensual"?) dan menggantinya perlahan tapi pasti jadi seorang makhluk seksual yang menyaran hasrat dan godaan.

 

Di titik itu, stereotipe penonton sepenuhnya diruntuhkan. Jika dalam paruh pertama film, Siti tampil masih menyisakan sesuatu yang ganjil, yang terasa sureal, karena dua dunia yang begitu berbeda –dunia malam dan dunia siang, adegan peralihan itu telah membuat Siti dan dunianya menjadi utuh. Bagaimana pun, Siti adalah perempuan. Dan, bagaimana pun, seorang perempuan tidak bisa dipilah-pilah hanya oleh peran-peran yang diharapkan oleh para lelaki yang berhubungan dengan sang perempuan. Siti adalah ibu, istri, menantu, juga seorang pribadi yang masih memiliki tubuh yang sewajarnya ingin dipeluk atau memeluk.

 

Tapi, film ini tidak pakai kacamata kuda romantisme. Salah satu karakter lain yang tampil kuat di film ini adalah laut. Lautlah yang telah mematahkan impian Bagus, membuatnya menyisakan hutang dan kegeraman berkepanjangan, membuat keluarganya berantakan. Laut lah raksasa yang diam-diam mengirimkan rayuan. Sesekali ada adegan dalam air laut yang sureal. Dan pada akhirnya, lautlah yang memberi jawab pada Siti.

 

Mungkin, di samping cerita tentang Siti, film ini juga adalah cerita tentang betapa tak terurusnya hubungan kita dengan laut saat ini. Pantai menjadi hamparan kisah-kisah kekalahan. Kita disibukkan oleh ketimpangan-ketimpangan yang ada di daratan. Siti dan Laut adalah kekuatan dalam diam. Jika Siti kalah, ia tetaplah sebuah kekuatan. Seperti Laut, yang dalam kelam dan diamnya pun tak pernah lelah mengirimkan ombak.


Siti

Sutradara: Eddie Cahyono

Produksi: Four Colors, 2014

01 Februari 2016
Dilihat sebanyak
5778 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015