
Ekky Imanjaya,
Dosen jurusan Film, Universitas Bina Nusantara
Setiap saat saya menyaksikan sosok Arthur Flecks dalam Joker (Todd Phillips, 2019) tertawa di
layar, hati saya ikut terenyuh, teriris. Semakin terbahak, semakin getir
terasa. Arthur punya penyakit khusus, sejenis penyakit syaraf yang terkait
dengan kondisi kejiwaannya.Jika ia cemas atau dalam keadaan tak nyaman, dia
akan tertawa dan terus tertawa tanpa dia bisa menghentikannya, walau ia telah
berusaha semampunya. Ada yang mengistilahkannya dengan pathological laughter.
Arthur, yang miskin dan tinggal di daerah kumuh di Gotham City itu, mesti minum
7 jenis obat, yang tergantung kepada subsidi pemerintah, yang sialnya sebentar
lagi akan memotong anggaran ini.
Dan orang lain tak paham dengan penyakitnya ini. Dan
seringkali ia dirisak dan jadi bulan-bulanan orang lain karena dianggap mencari
gara-gara atau dianggap aneh. Pola ini terjadi berulang-ulang, walau dia sudah
menjelaskannya dengan memberikan kartu nama khusus yang berisi info perihal
penyakit khususnya itu.
Sialnya, dia acap terjebak dalam situasi ketidaknyamanan,
kecanggungan, misfit, uncanny. Sehingga, tak jarang Arthur tertawa
terbahak-bahak seakan dia senang hati, sementara sorot mata, air mukanya, dan
gestur tubuhnya, mengindokasikan hal yang justru sebaliknya. Ya, dia (dipaksa
penyakitnya untuk) tertawa dalam kepahitan dan kegetiran.Tak jarang, Arthur
yang berprofesi sebagai badut dan punya impian menjadi komika itu tertawa dalam
derita hingga pupuran riasannya meluntur.
Menular, Amoral
Dan sialnya, segala ketidaknyamanan dan kepedihan hidupnya itu kok ndilalah tertransfer ke saya sebagai penonton. Saya seolah bisa merasakan apa yang dirasakan Arthur: keperihan, kekecewaan, kecemasannya. Dan itu berlangsung sepanjang film berdurasi dua jam itu: merasakan gejolak kepahitan batin Arthur. Inilah Gotham City sebelum era Batman, ketika kezaliman dan kekacaun melanda. Ketimpangan ekonomi meraja-lela dan Si Kaya kaum kapitalis semena-mena. Dan hal-hal amoral terjadi.
Tapi apakah amoralitas itu? Arthur dalam beberapa kesempatan melakukan perbuatan “amoral” dan melawan hukum. Tapi demi merasakan derita hidupnya, justru dalam banyak kasus, saya berpihak padanya. Tak hanya memaklumi, dalam beberapa adegan, saya merasakan kepuasan bahwa dendam atau apapun itu tersalurkan. “Mampus, lu!”
Saya “dipaksa” merayakan dan memihak Joker, si penjahat kita.
Tapi, tak hanya saya, ratusan orang papa yang memakai topeng
badut pun turut serta. Dalam hal ini, dalam konteks psikoanalisa, nilai-nilai
Superego yang memaksakan “kenormalan” dan norma-norma lain (yang antara lain
diwakili oleh Murray sang pembawa acara
talk show favoritnya) dikalahkan oleh Id (gejolak ideologi Joker yang melawan
arusutama), sehingga mengubah Ego (Arthur). Kita dipaksa membela Id, sifat
kebinatangan kita. Atau, moralitas baru,
yang tertempa keadaan, terbentuk sebagai antitesa.
Dan, sekali lagi, apakah amoralitas itu? Siapakah yang
amoral? Yang manakah kompas moral dan jangkar nilai? Dalam sebuah dialog,
Arthur mengeluh kepada psikiater (atau petugas dinas sosial?): “Is it just me?
Or is getting crazier out there?”. “Yang amoral siapa? Yang gila dan kacau itu
siapa sebenarnya? Negara? Pejabat dan
kaum elit? Kaum borjuis ataukah proletar? Masyarakat? Keadaan?
Menebak yang Tak
Tertebak
Kondisi kejiwaan Arthur begitu labil dan tak tertebak. dan
kepiawaian akting Joaquin Phoenix berhasil meyakinkan itu. Setidaknya saya. Dan
itu dengan sukses membuat saya cemas seraya menebak-mebak: mau ngapain lagi si
Arthur? Apalagi saat ia memegang sesuatu yang berpotensi membahayakan. Apakah
dia akan melukai dirinya sendiri? Atau
orang yang dia benci? Atau justru menyakiti seseorang yang dia sayangi? Atau malah sosok random yang ia sama sekali tak
kenal? Hal ini sejalan dengan dialog ikonik Joker besutan Nolan yang kelak menjadi semboyannya: “Do I look like a man with a plan?”
Dan ketakterdugaan ini berlangsung semenjak awal hingga
akhir film, bahkan saat kita menduga bahwa film akan segera berakhir atau
menebak bahwa adegan tertentu tidak memicu atau mengarah pada kebrutalan.
Dari Da’if ke Mustad’afin
Dan lalu Arthur yang hidup papa dan sering dipandang sebelah
mata itu menjadi representasi bahkan inspirasi banyak orang. Ya, Arthur dan
ratusan bahkan ribuan warga Gotham yang senasib dengannya bukan hanya sekadar
kaum da’if (lemah) tapi mustadh’afin, dilemahkan oleh struktur kelas sosial dan
ideologi kapitalisme yang menggurita dengan rakus dan zalim. Dalam konteks ini,
film ini menjadi sangat “kiri”. Pertentangan kelas kuat terasa akibat
kesenjangan ekonomi dan ketidaksetaraan dalam banyak hal. Bahkan semangatnya
tidak hanya sekadar “jangan percaya orang kaya” seperti sebuah dialog dalam
“Gundala”, namun lebih radikal lagi: “Kill
the Rich!”
Orang kaya, kaum elite, bangsawan adalah borjuis yang
digambarkan penghisap rakyat dan berbuat semau-maunya. Sementara rakyat jelata
kaum proletar yang, karena insiden yang dilakukan Arthur, terpicu untuk
melakukan gerakan sosial yang radikal dan cenderung anarkhis.
Sedangkan Arthur Flecks tetaplah Arthur. Cenderung
menyendiri, tenggelam dalam dunianya, dan berupaya supaya bisa nyambung dengan
dunia nyata. Ia ingin sekadar mengatasi problematikanya, bertahan hidup dan
mengejar impiannya yang sebenarnya begitu sederhana: menjadi komika
sukses. Persoalannya, kelabilan
psikisnya membuatnya menjadi sangat berbahaya, bahkan membuatnya menjadi simbol
perlawanan dari sebuah sistem kapitalisme yang kian membusuk.
Inilah Gotham City sebelum era Batman, ketika ketimpangan
sosial dan ketidakpuasan mewabah. Kezaliman ekonomi meraja-lela dan Si
Kaya semena-mena terhadap kaum
tertindas. Dan hal-hal yang dianggap amoral terjadi.
Tapi, sekali lagi,
apa (dan siapa) amoralitas itu?
Joker.
Sutradara, Penulis: Todd Phillips. Pemain: Joaquin
Phoenix, Robert de Niro, Zazie Beetz. Sinematografer:
Lawrence Sher. Produser: Todd
Phillips, Bradley Cooper, Emma Tillinger Koskoff. Produksi: DC Films, Village Roadshow Pictures, Bron Creative. Distributor: Warner Bros. Pictures.
2868 Kali


