WHY SO SERIOUS? ANAMNESIS PARA DURJANA
WHY SO SERIOUS? ANAMNESIS PARA DURJANA
Oleh: Paulus Heru Wibowo


…some men are not looking for anything logical, like money…they can’t be bought, bullied, reasoned or negotiated with. Some men just want to watch the world burn.

(Alfred Pennyworth, Dark Knight)

 

 

 

The Killing Joke

Di pinggir 421 Broom Street, Manhattan, sebuah jalan yang cukup tenang dan ramah, sebuah gedung apartemen berdiri kokoh. Meski berwarna putih kusam, fasade apartemen berlantai empat itu tampak mencolok. Sebagai sebuah artefak bergaya Victoria, kesan klasik dan berkelas tergurat di sana. Di tengah belantara New York, apartemen itu tampil naif sebagai sebuah monumen masa lalu yang menyimpan banyak kisah romantis yang sepi. Namun, di awal tahun 2008 yang dingin, apartemen kusam itu tiba-tiba menjadi sorotan publik. Heath Ledger, seorang aktor yang baru saja naik daun, ditemukan tewas di kamarnya yang terletak di penthouse apartemen itu. Tanpa seutas benang, tubuh Ledger terbujur kaku. Di sampingnya, berceceran beberapa butir obat tidur. Konon, menurut hasil otopsi yang dilakukan pihak berwajib, kematian Ledger disebabkan oleh overdosis obat tidur yang dikonsumsinya.

Di balik hasil otopsi tersebut, berkembang rumor yang mengait-kaitkan kematian Ledger dengan perannya sebagai seorang villain atau tokoh durjana yang bernama Joker dalam film The Dark Knight (2008) yang disutradarai oleh Christopher Nolan.[1] Dalam film itu, Joker digambarkan sebagai seorang psikopat yang menghalalkan kekejaman dan kekerasan untuk mencapai apa yang dimauinya. Sejauh ini, publik telah lama mengenal Joker sebagai rival Batman yang paling licik dan berbahaya. Tokoh durjana yang diciptakan oleh Jerry Robinson, Bill Finger, dan Bob Kane ini muncul pertama kali dalam komik Batman no. 1 (Spring, 1940) produksi DC Comics. Tawanya yang khas begitu menggentarkan. Penampilannya pun begitu unik. Sekilas, parasnya tampak seperti badut sirkus yang jenaka. Namun, dengan rambut berwarna hijau, polesan kapur putih yang begitu kasar pada wajahnya, bercak hitam di sekitar matanya, dan gincu merah tak beraturan di seringai mulutnya, ia tampak lebih menyeramkan.

Berdasarkan komik The Killing Joke yang dikisahkan Alan Moore, Brian Bolland, dan John Higgins, bentuk wajah Joker yang menyeramkan ini diperolehnya setelah terjatuh ke dalam kubangan limbah kimia ketika menghindari diri dari kejaran Batman.[2] Ia selamat dari kubangan itu, tapi kembali ke Gotham dengan kegilaan dan dendam kesumat. Kebenciannya terhadap Batman tak dapat terlerai. Sejak saat itulah, Joker menjadi teror dan mimpi buruk bagi Batman dan masyarakat kota Gotham.

Dalam konteks demikian, memerankan tokoh Joker dalam film jelas menjadi sebuah tantangan. Sebagai seorang aktor profesional yang tidak pernah mengenyam pendidikan akting secara formal, Ledger melakukan berbagai upaya keras untuk menampilkan tokoh fiktif itu sesempurna mungkin. Selama ini, publik mengenali Ledger sebagai aktor muda yang memiliki dedikasi dan totalitas yang luar biasa. Bahkan namanya mulai disandingkan dengan beberapa aktor besar seperti Marlon Brando dan Sean Penn oleh sejumlah kritikus film The New York Times.[3] Maka, untuk mencapai kesempurnaan itu, Ledger tidak hanya mempelajari akting sejumlah aktor yang pernah berperan sebagai Joker seperti Cesar Romero dalam film seri televisi, Batman atau Jack Nicholson dalam film Batman (1989). Konon, ia juga mempelajari dan mengeksplorasi dengan saksama gaya dan perilaku Sid Vicious, salah satu personel band punk legendaris dari Inggris, Sex Pistol, dan mendalami karakteristik tokoh Alex deLarge yang begitu brutal dan sadis dalam film A Clockwork Orange (1971) yang disutradarai Stanley Kubrick. Semuanya itu dilakukannya untuk mendapatkan kejiwaan Joker yang begitu kelam.[4] Ledger beranggapan bahwa kedua sumber itu mampu menuntunnya untuk memahami karakteristik Joker yang cenderung brutal, licik, dan misterius.

Tidak dapat ditepis, kerja keras yang dilakukan Ledger untuk menghayati peran Joker berbuah pujian. Mayoritas komentator menyetujui bahwa Ledger tidak hanya menjadi satu-satunya Joker yang terbaik, tapi juga menjadikan Joker sebagai salah satu tokoh jahat yang paling menakutkan di dalam sejarah film.[5] Namun, kerja keras itu juga harus dibayar mahal. Selama proses pembuatan film, kesehatan Ledger mulai menurun. Bahkan ia harus bergantung pada obat tidur yang dirokemendasikan pihak paramedis.

Sebagaimana diutarakannya kepada para wartawan, Ledger tidak memiliki waktu yang cukup memadai untuk beristirahat. Ia hanya dapat tidur selama dua jam saja setiap malam. “I could not stop thinking. My body was exhausted, and my mind was still going.”[6] Ia begitu terobsesi untuk memberikan kesempurnaan pada tokoh Joker yang ia perankan.

Meski totalitas penghayatan Ledger terhadap peran Joker ini membuahkan hasil yang luar biasa dan menuai banyak pujian serta penghargaan, tetapi beberapa bulan setelah kematiannya yang cukup mendadak itu, berkembanglah rumor yang menyatakan bahwa Joker, tokoh fiktif itu, memang telah membunuhnya.[7] Karakteristik tokoh Joker yang ia perankan itu telah menghantui dan menguasai kepribadiannya sampai-sampai ia memerlukan bantuan obat tidur dengan dosis tinggi untuk melepaskan bayangan tokoh durjana itu dalam kehidupannya, meskipun proses pembuatan filmnya telah rampung cukup lama!

 

Murderabilia: Bisnis Hiburan Kejahatan

Rumor mengenai kematian Heath Ledger itu begitu kontroversial dan menyisakan beberapa pertanyaan yang belum terjawab.[8] Apalagi, pada tanggal 20 Juli 2012, publik dikejutkan oleh sebuah tragedi penembakan massal di bioskop Century 16 di Aurora, Colorado, Amerika Serikat ketika film The Dark Knight Rises ditayangkan perdana di tempat itu. Dalam tragedi tersebut, sebanyak 12 orang tewas dan 58 lainnya luka disebabkan oleh peluru yang diberondongkan oleh James E Holmes (24) yang mengklaim dirinya sebagai Joker.[9] Dari kedua peristiwa itu, timbul pertanyaan. Bagaimana mungkin karakter tokoh durjana fiktif mampu mengontrol kesadaran Ledger dan Holmes dan bahkan membuatnya nekad menghabisi nyawanya sendiri dan orang-orang sipil yang tak bersalah? Bagaimana mungkin sesuatu yang fiktif memiliki dampak yang cukup serius dalam dunia nyata individu dan masyarakat?

Sejauh ini, di balik pertanyaan - pertanyaan itu, tidak sedikit pihak yang memang juga melihat bahwa rumor mengenai kematian Ledger yang cukup misterius dan tragedi berdarah 20 Juli itu sengaja dimanfaatkan untuk mendongkrak kesuksesan The Dark Knight (2008) dan The Dark Knight Rises (2012) di pasar film. Rumor itu pun terus menyusup ke dalam ruang publik dan berakar kuat di sana melalui pelbagai spekulasi dan interpretasi. Tentu saja, tanpa usaha verifikasi yang tegas dan kritis. Secara tidak langsung, kondisi demikian semakin menguatkan bahwa kematian Ledger dan tindakan Holmes itu telah menjadi semacam jalan untuk memitoskan tokoh Joker yang diperankan Ledger sebagai figur fiktif tapi sekaligus nyata dalam dunia narasi kejahatan kontemporer.  

Dalam budaya populer, sebagaimana diamati oleh Nickie D. Phillips, seorang ahli sosiologi kriminal di Amerika, intervensi hal fiktif ke dalam dunia nyata sebenarnya bukan lagi menjadi hal yang baru.[10] Sejak media populer  berkembang, batas antara fakta dan fiksi sudah begitu kabur sehingga keduanya tidak dapat lagi dibedakan dengan jelas. Dunia hiburan pun mulai bergabung dengan kehidupan nyata. Hal ini terbukti melalui meledaknya sejumlah program prime time bercorak reality show, terutama program reality show kriminal.[11] Bahkan, di mata Neal Gabler (2000), seorang kritikus media dari Amerika, dunia hiburan masa kini tidak lagi menjadi satu tahap dalam kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri bahkan telah menjadi sebuah medium, sebuah seni, sebuah film, yang dirancang untuk menjaring perhatian audiens.[12] Karena itu, representasi fiksional mengenai kejahatan dan keadilan, misalnya, sangat mungkin dipengaruhi sejumlah peristiwa aktual yang ditampilkan media cetak, dan hal itu sebaliknya juga memengaruhi peristiwa aktual itu sendiri, seperti munculnya kebijakan-kebijakan yang ditelurkan pemerintah.[13]

Berkelindannya hal fiktif dan faktawi itu menjadi salah satu obyek garapan industri hiburan yang paling menarik pada masa kini. Dalam buku yang berjudul Natural Born Celebrities: Serial Killers in American Culture, David Schmid, seorang pengamat media dari State University of New York, menunjukkan sebuah fenomena bisnis yang disebut sebagai industri murderabilia.[14] Istilah murderabilia yang ditemukan oleh Andy Kahan dari Kantor Departemen Kepolisian Houston bagian Crime Victims ini merujuk kepada sejumlah artefak yang berkaitan dengan aktifitas dan kehidupan para pelaku kriminal terutama para pembunuh berantai (serial killers).[15] Artefak-artefak tersebut diperlakukan sebagai suvenir dan barang suci atau relikui yang dapat dijual secara bebas kepada para kolektor. Penyedia jasa penjualan online yang bernama Serial Killer Central, misalnya, menawarkan sejumlah benda yang dibuat beberapa pembunuh berantai seperti lukisan atau gambar dengan harga di atas puluhan juta. Supernaught.com, penyedia jasa lainnya, bahkan menjual sebuah batu bata yang berasal dari apartemen seorang pembunuh berantai, Jeffrey Dahmer, dengan harga $ 300. Meski industri ini menuai kritik yang cukup pedas dari elemen masyarakat sebagai bisnis tak bermoral karena dianggap menyampaikan pesan negatif, murderabilia industry terus berkembang dengan cukup pesat.[16]

 

 

Para Durjana sebagai Ikon Terbaru                 

Schmid tidak menepis bahwa industri murderabilia itu sebenarnya merupakan sebuah sekrup kecil di dalam industri hiburan yang bersinggungan dengan tema kriminalitas. Sejak tahun 1970-an, industri itu telah berkembang cukup baik melalui beragam media seperti film, majalah, kaos, kartu, video, buku-buku, atau acara televisi. Beragam media itu menampilkan para pelaku kriminal bukan sebagai para pesakitan, melainkan justru sebagai para selebritis tenar. Mereka dikenal secara luas dan terkenal atas aksi yang telah mereka lakukan. Celakanya, industri yang mengeksplorasi citra para pelaku kejahatan itu bahkan cenderung tidak tergoyahkan karena liputan kriminalitas yang sensasional masih menduduki posisi tertinggi dalam pop culture masyarakat Amerika Serikat, mulai dari bentuk terawal karya sastra kolonial populer, berkembangnya yellow journalism di abad ke-19, sampai sejumlah buku dan film mengenai penjagal-penjagal hari ini.[17] Liputan kriminalitas yang sensasional itu mencapai puncaknya di tahun 1980-an ketika peristiwa kejahatan mulai dikemas dalam tabloid.[18] Menurut penelitian Schmid, dengan cara demikian, media kontemporer dapat menampilkan wajah ancaman kejahatan yang seringkali begitu anonim dalam bentuk yang dapat dikenali masyarakat sehari-hari sehingga dapat diambil sejumlah langkah antisipatif yang diperlukan.[19]

Akan tetapi, gagasan tersebut juga melahirkan konsekuensi yang cukup serius. Untuk memperoleh impresi bahwa para tokoh itu memang sungguh mewakili gagasan mengenai kejahatan, tentu saja, dalam sejumlah media itu, para pelaku kejahatan direpresentasikan sebagai monster-monster gothik yang mengerikan seperti Frankenstein, vampir, atau manusia serigala.[20] Mereka dibentuk sebagai alat produksi ketakutan, bukan hanya melalui wajah dan seringai para monster itu saja, melainkan juga dengan pemitologisasian terhadap para penjagal, teroris, atau penculik anak yang secara diam-diam mengendap dalam kehidupan nyata.[21] Secara peyoratif, hal demikian justru memotret peristiwa kejahatan bukan sebagai problem sosial kemanusiaan, melainkan sekadar sebagai obyek hiburan potensial yang dapat diperdagangkan dan jatuh sebagai amusement. Dampaknya pun cukup luar biasa. Beragam media itu telah membuat para pelaku kejahatan menjadi ikon-ikon Amerika Serikat yang baru, sejajar dengan para superhero atau penegak hukum yang mereka rayakan pula dalam komik dan film.

 

*******

 

Catatan Akhir

 



[1] Istilah villain dalam bahasa Inggris berasal dari kata vilain dalam bahasa Perancis. Menarik untuk diketahui bahwa pada mulanya kata vilain berarti petani (peasant) atau orang desa (churl). Lihat Northrop Frye, Sheridan Baker, and George Perkins, 1985, The Harper Handbook to Literature, New York: Harper & Row Publishers, hal. 484. Oleh Ibu Panuti Sudjiman, guru besar sastra dari Universitas Indonesia, kata villain diterjemahkan sebagai tokoh durjana yang didefinisikan sebagai “Tokoh yang jahat di dalam cerita dan khususnya biang keladi atau penghasut dalam drama.” Dalam buku ini, saya akan mengikuti terjemahan itu sepenuhnya. Lihat Panuti Sudjiman (Ed.), 1984, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: PT Gramedia, hal. 75. 

[2] Alan Moore, Brian Bolland, & John Higgins, 1988, Batman: The Killing Joke, New York: DC Comics.

[3] Sewell Chan, “The Death of Heath Ledger,” http://cityroom.blogs.nytimes.com/2008/01/22/actor-heath-ledger-is-found-dead/ diakses pada tanggal 11 April 2012.

[4]“Heath Ledger Joker Inspired by Sid Vicious,” http://www.telegraph.co.uk/news/celebritynews/2468004/Heath-Ledgers-Joker-inspired-by-Sid-Vicious.html, diakses pada tanggal 11 April 2012.

[5] Lars Dittmer, “New Evil- The Joker in “The Dark Knight” as a Prototype of the Post-September 11-Tokoh durjana,” Thesis (M.A), hal.. 2,  http://www.grin.com, diakses pada tanggal 9 April 2012.

[6]“Jack Nicholson warned Heath Ledger on Joker role,” http://www.nydailynews.com/news/jack-nicholson-warned -heath-ledger-joker-role-article-1.347086#ixzz1rNt4gHg, diakses pada tanggal 9 April 2012.

[7] “Did the Joker Kill Heath Ledger,” http://submittedforyourperusal.com/2008/03/01/did-the-joker-kill-health-ledger , diakses pada tanggal 10 April 2012.

[8] “Media Swiped Joker Killed Heath Ledger from DailySkew,” http://skew.dailyskew.com/2008/01/media-swiped-joker-killed-heath-ledger.html, diakses pada tanggal 15 April 2012.

[9] “Tragedi Penembakan: Penembak adalah Mahasiswa Cemerlang,” Kompas, Minggu, 22 Juli 2012, hlm. 11.

[10] Nickie D. Phillips, 2010, “The Dark Knight: Constructing Images of Good vs Evil in An Age of Anxiety,” Popular Culture, Crime and Social Control,  Sociology of Crime, Law, and Deviance, Volume 14, hal. 28.

[11] Ibid.

[12] Neal Gabler, 2000, Life in the Movie: How Entertainment Conquered Reality, Vancouver: Vintage Books, hal.. 6

[13] Ibid.

[14] David Schmid, 2005, Natural Born Celebrities: Serial Killers in American Culture, Chicago: The University of Chicago Press, hal.. 1

[15]Murderabilia,”

07 Oktober 2019
Dilihat sebanyak
3387 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015