Ini percakapan dengan seorang rebel boy yang berkecimpung di dunia kopi. Sosoknya selenge'an dan tutur kata serba-spontan bisa kita temui di kafe Coffeewar. Derby Sumule adalah salah seorang pendiri Coffeewar, yang telah berdiri sejak 2010 di bilangan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Yang menonjol dari kafe yang ia dirikan bersama kakaknya, Yogi Sumule, itu adalah kepercayaannya yang besar pada kopi lokal.
“Saat itu, muncul gejala kafe franchise kopi luar dan tumbuhnya gaya hidup ngopi. Gue berani buka Coffeewar dengan menawarkan konsep baru,” katanya, saat ditanya bagaimana asal usul Coffeewar.
Jika Anda baru berkunjung ke Coffeewar, kemungkinan muncul reaksi semacam ini bila hendak memesan kopi: Ada menu kopi Indonesia nih, tapi kok tidak ada menu ice blended coffee? Menurut Derby, itu sengaja. Pernah dengar pameo "kopi sangat nikmat jika diseduh pure minimalis, karena kemurnian kopinya akan terasa”? Filosofi tersebut diterapkan di Coffeewar yang mengutamakan sajian manual brew.
“Sekaligus, gue memopulerkan keaslian cita rasa kopi Indonesia yang punya pasar ekspor tinggi," kata Derby dengan bersemangat. "Begini," lanjutnya, "kedai kopi luar membawa budaya ngopi luar dengan menambah creame ke kopi. Itu karena orang bule doyan susu. Sedangkan kenyataannya, orang Indonesia yang memang ngopi dari dulu menyeduh dengan cara yang sederhana. Sajian seperti ini yang kita bawa ke Coffeewar.”
Hal ini menjadi menarik karena kita diingatkan kembali pada fakta bahwa orang Indonesia punya budaya minum kopi yang kuat. Sejak lama warung-warung kopi menjadi tempat singgah masyarakat kita untuk menikmati kopi sambil bercengkrama. Pesanan kopinya, sudah tentu secangkir kopi hitam panas.
Bersosialisasi lewat Ngopi
"Ngobrol sambil ngopi" adalah aktivitas lumrah di warung-warung kopi. Pola interaksi yang tercipta menjadikan kopi identik dengan suasana segar yang sarat dengan tukar pikiran. Dengan alasan itulah, Coffeewar terbuka untuk acara-acara seperti diskusi, peluncuran buku, atau live music –hal-hal yang membangun dialog ruang‒ sehingga menciptakan suasana yang sama seperti di warung kopi.
“Percakapan dimulai dari minum kopi. Tempatnya, yakni warung, jadi sarana sosialisasi,” kata Derby.
Ketika saya melakukan wawancara ini, saya bertanya akan tumpukan karung goni yang terletak di sudut kafe –yang ternyata berisi bijih kopi‒ kepadanya. “Itu adalah biji kopi yang akan dijual di Aceh untuk dibeli supplier gue dari Australia."
Derby menerangkan lebih jauh, "Jadi, kita (Coffeewar) mengadakan cup test yang ditujukan untuk supplier lokal dan luar. Cup test tersebut kita koordinir dengan sistem pendampingan, yang bermanfaat untuk menjaga mutu, menaikkan kualitas, dan membangun relasi dengan petani. Pelan tapi pasti, metode yang dijalankan Derby membuahkan hasil. Jumlah produksi panen terus meningkat tiap tahunnya. Di mulai dari tahun 2010 yang menghasilkan satu ton kopi, terus berkembang produksinya menjadi lima ton di tahun 2012."
Derby jadi lebih serius saat bercerita tentang metode direct trade yang ia jalankan untuk urusan berbisnis kopi. Ia menjelaskan langsung tentang ‘tata krama’ saat berada di perkebunan dan berinteraksi dengan petani setempat untuk menciptakan keharmonisan yang saling menguntungkan. Ada kisah menarik dari kopi Sulawesi Selatan.
Propinsi yang terkenal dengan Kopi Toraja itu ternyata memunyai banyak daerah penghasil kopi lain, seperti Kopi Kalosi, Luwu, Mamas, dan Malakaji. Kopi Kalosi yang berada di utara Benteng Alla menjadi fokus Derby dalam mempraktikkan strategi bisnisnya. Sulawesi Selatan yang kaya akan pertanian kopi ternyata menjadi salah satu tujuan penting bagi para supplier internasional ketika panen tiba. Jadi, jangan heran jika di pasar seperti itu kita menjumpai banyak bertebaran orang kaukasian sibuk memilih-milih kopi. Derby menjadi salah satu pembeli lokal yang berada di dalam pasar panen raya itu.
Percakapan pun menyusuri proses panjang perdagangan kopi itu. Deby sungguh kawan yang asyik untuk bercakap serba-serbi kopi dan dagang kopi. Sampai tiba Derby pada geliat bisnis kedai kopi yang tumbuh subur di ibukota. Ia bilang, para pengusaha kedai kopi bisa mengeluarkan investasi bernilai 400 juta rupiah untuk... sebuah mesin espresso!
“Elo buka usaha, beli mesin segitu mahal buat menghidangkan secangkir kopi. Buat gue, itu merupakan hal yang bukan menjadi standar. Bagi gue, bisnis kedai kopi dasarnya terletak pada pengolahan kopi itu sendiri, dengan memerhatikan suhu dan teknik roasting.” Menurutnya, dua fokus itu mampu memunculkan potensi kopi agar kenikmatannya tercapai. “Hahaha atau mungkin gue-nya aja yang enggak punya modal untuk bikin kafe yang utility-nya sebanding sama harga mobil,” kekehnya.
Derby segera menambahkan, sebetulnya dia "bukan seorang fundamentalis" dalam hal penyajian kopi dengan atau tanpa susu. Baginya, tak apa jika orang senang minum kopi dengan susu dan cocok dengan olahan mesin espresso. Banyak pintu masuk untuk menikmati kopi, katanya. Sikap santai itu sesuai dengan suasana kafenya. Kopi adalah bagian tak terpisahkan dari orang dan ruang di kafe itu.
Mungkin, ‘dialog ruang’ seperti yang dijabarkan di atas adalah hal yang ingin dicapai Derby dalam atmosfer kafenya. “Coffeewar itu tempat nongkrong dan tempat bengong!” ***
Wawancara dan penulisan oleh Annayu Maharani.
Wawancara dilakukan pada 11 Maret 2013.
6791 Kali