Bagaimana seandainya masyarakat Indonesia tidak dipaksa melupakan lagu Genjer-genjer.
Lagu Genjer-genjer, kita tahu, diidentikkan dengan G 30 S PKI dan karenanya dianggap cemar, nyaris haram. Lagu dengan syair berbahasa Banyuwangi itu dilarang rezim Orde Baru. Larangan itu makan korban para penggemar serta pencipta lagunya sendiri. Imaji bahwa ini memang lagu ”PKI” semakin lekat ketika Arifin C. Noer menggambarkan lagu ini dinyanyikan dalam suasana orgi saat penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya.
Genjer-genjer sebetulnya lagu ciptaan seniman Banyuwangi, Muhammad Arif. Menurut sebuah versi (antara lain, dari anaknya, Sinar Syamsi), lagu itu diciptakan M. Arif pada 1943, terilhami lauk sayur genjer yang dihidangkan istrinya. Pada saat itu, masa pendudukan Jepang, daerah Banyuwangi yang tadinya surplus bahan makanan jadi mengalami kelangkaan bahan makanan. Akibatnya, tanaman genjer (limnocharis flava) yang tadinya dianggap rakyat sebagai tanaman pengganggu di pinggir sungai, dan biasa jadi pangan ternak (ada yang bilang, ternak babi) dengan campuran dedak dan bekatul.
Rupanya, genjer enak juga sebagai lauk bagi pangan manusia. Demikianlah M. Arif takjub, dan mencipta lagu itu. Perlahan, lagu itu jadi lagu yang sangat popular di kalangan rakyat daerah Banyuwangi. Seorang tokoh budayawan PKI, Njoto, mendengar lagu itu dan menganggapnya akan digemari masyarakat luas. Benar saja, pada 1960-an, dua penyanyi populer nasional, Bing Slamet dan Lilies Suryani, menyanyikannya dan menjadikan lagu itu sebuah pop hit nasional.
M. Arief pada 1960-an itu bergabung dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Dan sejak Lekra masuk ke Banyuwangi, kesenian lokal daerah itu menjadi maju dan terangkat ke permukaan ranah kesenian nasional. Termasuk lagu Genjer-genjer itu. Banyak gadis remaja yang gemar menari dengan iringan lagu itu. Termasuk di antara mereka, Sumilah, gadis asal Prambanan, Yogyakarta, yang sewaktu 1965 baru berusia 14. Dia waktu itu gemar sekali menari dengan iringan Genjer-genjer, karena ”lagu itu enak sekali.”
Ketika PKI dituduh makar dan membunuh serta menyiksa tujuh jenderal, amuk massa di mana-mana tertuju pada segala yang ”PKI”. Pembantaian dan penangkapan terjadi di mana-mana. Militer melakukan pembiaran terhadap gelombang kekerasan yang mengerikan di Jawa dan Bali. Sumilah juga diciduk bersama 47 orang lain (tujuh perempuan) dari desanya ke penjara Wirogunan. Setelah dipindah tahanan beberapa kali, ia baru dibebaskan setelah 14 tahun.
Sejak Sumilah dibariskan di lapangan desanya oleh lurahnya waktu itu, selama perjalanan dalam truk menuju penjara, hingga proses interogasi yang sangat menekan (diduga, disertai siksaan –Sumilah tak pernah mau bercerita persisnya), ia bertanya-tanya salah apa ia. Satu-satunya yang ia ingat, ia senang menari di panggung dengan lagu Genjer-genjer.
Pencipta lagu itu sendiri, juga ditahan oleh rezim Orde Baru, dan sampai kini hilang entah bagaimana nasibnya (kemungkinan besar, tentu saja, ia salah satu yang dieksekusi diam-diam dan dikubur dengan nisan tak bernama di suatu tempat). Lagu Genjer-genjer jadi lagu ”angker”, momok yang pernah sangat menakutkan.
*
Saya membayangkan bagaimana jika lagu itu masih boleh didengar secara luas semasa Orde Baru. Lagunya enak. Yang sedang saya sukai permah sampai semalam suntuk saya putar terus bersama beberapa lagu ’80-an dari Guruh Sokarno Putra, Chandra Darusman, Black Fantasy, dan Harry Sabar, adalah versi Bing Slamet. Suara Bing memang yahud. Plus musiknya, dengan sound gitar yang bagi saya kok mirip teknik gitar King Crimson dalam Book of Saturday atau I Talk to The Wind.
Lagu yang pantas jadi hit ini jadi sangat politis. Menjelang peristiwa 1965, syairnya diubah jadi berkisah tentang penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Entah siapa yang mengubahnya. Begitulah perang urat syaraf. Lagu rakyat yang sempat jadi lagu pop lantas jadi lagu mencekam, sebuah momok. Dan kemudian dilupakan selama beberapa waktu.
Tapi, jika rezim waktu itu tak memaksa kita melupakan lagu itu, apakah yang terkenang setiap kali lagu Genjer-genjer diputar pada, taruhlah, masa 1970-an? Sebuah masa yang masih dekat dengan segala kekerasan itu. Apakah lagu ini akan menjadi sesuatu yang traumatik?
Saya ingat, lupa adalah anugerah, apabila dalam dosis yang tepat. Kalau saya tak mampu melupakan ceceran darah dan otak dalam sebuah kecelakaan, maka saya akan didera kengerian yang tak habis-habis. Kalau pada saat akan makan saya tak lupa akan pemandangan menjijikkan dari sebuah tempat, kemungkinan besar saya tak bisa makan.
Lupa menjadi laknat, ketika kita melupakan apa yang harus diingat. Atau ketika jadi lupa akan segala.
Jadi, di satu sisi, ada baiknya juga kita pernah melupakan sejenak lagu enak ini. Sampai kemudian lagu ini diangkat kembali dalam film Gie (Riri Riza). Sampai lagu ini beredar di internet, dalam format mp3. Di sisi lain, apakah baik kita melupakan penderitaan? Apakah baik kita mengabaikan sisi gelap sejarah bangsa kita?
Ya dan tidak.
Bukankah dendam adalah sebuah bentuk lain ketidakinginan melupa? Dan, bukankah dendam adalah sebentuk lingkaran kekerasan? Jika kita melawan lupa atau tak menampik lupa karena ingin memelihara dendam, kapankah akan tercapai sebuah rekonsiliasi, resolusi?
Di sisi lain, jika kita begitu saja melupakan sisi gelap diri kita, dengan mudah pula kita akan terjebak dalam lubang yang sama. Lagi pula, mungkin kita perlu bicara tentang semacam batas-batas melupakan. Ada hal-hal yang perlu kita ingat agar kita bisa menegakkan keadilan: misalnya, segala yang diderita para korban kekerasan itu. Tapi, ada pula hal-hal yang perlu kita lupakan justru agar kita bisa menegakkan keadilan.
Atau, saya telah mendekati persoalan ini secara keliru. Apakah mestinya saya berpikir bahwa kita perlu mengingat, untuk bisa melupakan? You got to get in to get out, kata Genesis dalam Carpet Crawler.
*
Setelah jadi anggota Lekra, Muhammad Arif sang pencipta lagu Genjer-genjer sempat jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, mewakili PKI. Sesudah G 30 S, terjadi banyak gelombang penculikan dan penggerebekan terhadap para anggota PKI, termasuk di Banyuwangi.
Massa kota itu mengamuk, dan salah satu sasaran amarah mereka adalah M. Arif. Massa merusak dan membakar rumah M. Arif, disaksikan oleh Sinar Syamsi, anak tunggal M. Arif dan Suyekti. Waktu itu, ia telah berusia 11.
M. Arif sendiri telah pergi, melarikan diri. Tapi, kata Syamsi, kemudian M. Arif ditangkap dan dipenjara di CPM Malang. Sejak itu, nasib ayahnya tak jelas lagi. Hilang. Syamsi tak bisa melupakan itu. Syamsi dan keluarganya mengalami banyak kesulitan karena latar belakang ayahnya. Ia beberapa kali dipecat tanpa alasan yang jelas. Sampai saat ini, ia tak bisa melupakan betapa ibunya stress karena tekanan terhadap keluarga akibat peristiwa G 30 S, sampai sang ibu meninggal 2007 lalu.
Ia mulai berpikir untuk pindah dari Indonesia saja, mungkin tinggal Belanda atau Cina. Apakah reformasi politik kita yang telah 11 tahun ini tak juga memberi Syamsi harapan barang secuil? ***
Hikmat Darmawan
6959 Kali