
Oleh: Hikmat Darmawan
Seperti kata Feby Indirani
(penulis Bukan Perawan Maria dan
penggagas gerakan Relaksasi Beragama) di dinding Facebook-nya seusai menonton
film-film di Plaza Indonesia Film Festival 2018: menonton film bagus adalah
ibadah. Tentu saja Feby bicara tentang film bertema umum, bukan film bertema
agama. Tapi, dalam rangka kampanye Relaksasi Beragama, menarik juga mendaftar
film-film yang bisa membantu kita lebih santai menyikapi persoalan-persoalan
keagamaan.
Film memang bisa jadi wahana
merenungi agama. Walau umumnya kita memperlakukan film sebagai media untuk
menghibur diri, fungsi film tidaklah sebatas hiburan. Kadang, kita temui film
yang dengan serius berfilsafat atau bahkan berpuisi. Misalnya, film Seventh Seal karya Ingmar Bergman,
dengan berbagai metafora visualnya merenungi, dan membicarakan, masalah-masalah
eksistensial manusia di hadapan kematian.
Atau, film-film seperti Tree of Life (karya Terrance Malik) dan Wings of Desire (karya Wim Wenders) yang
sangat puitis. Film-film demikian membutuhkan prasyarat kesediaan untuk
menonton secara "serius", dan kemungkinan besar tidak masuk kotak
"menghibur" dan akan berkonotasi tidak relaks. Tentu saja ini dapat
diperdebatkan –saya pun sering terhibur oleh film-film serba-merenung-murung
itu. Tapi, saya kira saya membutuhkan film-film yang lebih "santai"
untuk daftar ini.
Sebaliknya, film yang sangat
menghibur seperti Sister Act (1992)
yang dibintangi oleh Whoopi Goldberg atau The
Sound of Music (karya Robert Wise, 1965) juga tak saya masukkan, karena toh film-film itu lebih mudah ditemukan
atau diakses ketimbang, misalnya, film Indonesia lawas yang membahas tema
religiusitas dengan asyik.
Daftar ini bukan merupakan
berupa urutan peringkat, jadi susunannya tidak mencerminkan tingkatan mutu
masing-masing film. Daftar ini melebar ke film-film mancanegara dengan latar
aneka agama. Untuk daftar khusus film Indonesia yang bisa jadi tontonan dalam
kerangka Relaksasi Beragama, mengingat Maret kan "bulan film nasional", akan menyusul.
TITIAN SERAMBUT DIBELAH
TUJUH (Sutradara: Chaerul Umam, Skenario: Asrul Sani, 1992)
Boleh dibilang, ini salah
satu film Indonesia terbaik sepanjang masa. Titian
Serambut Dibelah Tujuh (TSDT) mengunjungi kembali tema yang pernah diangkat
oleh duet Umam dan Sani dalam Al Kautsar
(1977) yang dibintangi Rendra, yakni tentang ujian iman seorang juru dakwah
menghadapi kedegilan sebuah kampung antah berantah. Gambaran alam korup kampung
entah itu lebih progresif daripada dalam Al
Kautsar, karena karakter-karakter antagonisnya lebih rumit dari film
pendahulu TSDT itu. Bahasa visual TSDT pun lebih "jadi" daripada Al Kautsar maupun film-film Indonesia
semasa itu. Yang mengesankan, dan sesuai dengan semangat Relaksasi Beragama
adalah gambaran sangat manusiawi sang pendakwah, Ibrahim, yang secara cemerlang
dimainkan oleh El Manik. Sang juru dakwah bisa tergoda, ragu, takut, ingin
menyerah, dan dengan demikian justru mampu mewakili perjalanan hijrah kejiwaan
di dalam diri seseorang secara kongkret.
THE CUP (Sutradara: Khyentse
Norbu, 1999)
Film yang ringan dan cerita
yang sahaja, lahir dari tangan seorang pandita. Norbu adalah seorang lama Tibet yang belajar film di New
York. Film ini digali dari pengalaman pribadi, tentang dua anak yang tiba di
sebuah biara terpencil dan mereka bertekad ingin menonton final Piala Dunia
sepak bola. Sewaktu menonton film ini di sebuah festival di Jakarta, terdengar
komentar-komentar: Wah, film ini mengingatkan suasana pesantren!
Rekomendasi:
patut ditonton juga, film berlatar tempat biara Budha yang sunyi: Spring, Summer, Fall, Winter …and Spring! (Sutradara:
Kim Ki Duk, 2003).
RINDU KAMI PADAMU (Sutradara:
Garin Nugroho, 2004)
Pada saat film ini tayang,
banyak pengamat menyebut film ini adalah karya paling komunikatif Garin. Ada
mitos yang kadung terbangun bahwa film-film Garin adalah selalu
"berat", "nyeni"
dan "rumit". Mitos yang mungkin berdasar, tapi sering membuat kita
luput bahwa pada film-filmnya yang paling rumit abstraksinya pun, Garin
sesungguhnya selalu menyertakan unsur permainan –entah bermain-main dengan
bentuk, atau bermain-main dengan pesan. Rindu
Kami Padamu menggunakan pendekatan neorealisme untuk menghidangkan adegan
pasar tradisional yang realistik, sekaligus memanfaatkan para pemain teater
seperti Didi Petet dan Jaja Miharja dengan sangat baik untuk menyampaikan
sebuah puisi sederhana tentang Islam dan Indonesia di tengah sebuah pasar yang
sibuk.
Rekomendasi:
film Garin lain, Mata Tertutup dan Guru Bangsa juga menggali tema
keberagamaan dan kebangsaan dengan kebermainan yang komunikatif.
LIFE OF BRIAN (Sutradara:
Terry Jones, 1979)
And …always look on the bright side of life. Always
look on the light side of life…. For life is quite absurd. And death is the
final word. You must always face the curtain with a bow. Forget about your sin
–give the audience a grin. Enjoy it –it is your last chance anyhow.
Lirik di atas adalah dari
lagu yang mungkin terhitung paling absurd situasi musikalnya (dinyanyikan di tengah penyaliban) sekaligus salah
satu susunan nada paling riang dan ringan dalam khasanah lagu nihilistik di
budaya popular Inggris. Status Monty Python saat film ini dibuat sudah nyaris
legendaris: sekumpulan komedian jenius, nyentrik, dan gemar menjungkir logika
keberagamaan Kristen di Eropa. Setelah film pertama mereka yang dimodali ala
kadarnya oleh George Harrison, Monty
Python and The Holly Grail (1975), geng sableng ini sengaja memarodikan
cerita utama Kristen, yakni kisah Yesus dan Penyaliban. Tepatnya, film ini
memarodikan zaman Yesus, dengan fokus pada tokoh fiktif bernama Brian, yang
juga lahir di kandang kambing bareng dengan Yesus. Begitu banyak hal absurd
terjadi di film ini, termasuk adegan UFO yang menyusup serta animasi sureal
dari Terry Gilliam. Tapi, pada akhirnya, ini film yang berhasil membuat kita
berpikir lebih keras tentang keabsahan doktrin-doktrin keberagamaan yang telah
beku.
PK (Sutradara: Rajkumar
Hirani, 2014)
Tak pelak, ini film Amir
Khan –sebagai alien bernama PK, Amir total membuat kehadiran-layar-nya sukar
kita lupakan seusai film. Ini film India yang bukan saja sangat berhasil secara
komersial di dalam maupun luar India (termasuk di Indonesia), tapi juga
berhasil di berbagai level kritik. Pakem filmnya tidaklah keluar dari pakem
arusutama film-film Indonesia, lengkap dengan adegan nyanyi dan menari. Tapi,
nyaris di setiap adegan, kita dibawa pada pertanyaan demi pertanyaan tentang
apa arti agama dalam hidup manusia modern –candu, pemecah-belah, atau ilham
kebajikan? Monolog tentang "salah nomor" itu terasa cheesy tapi juga tak bisa kita abaikan
makna pentingnya dalam praktik keberagamaan kita sehari-hari. Layak ditonton
berulang-kali.
LE GRAND VOYAGE (Sutradara: Ismael
Ferroukhi, 2004)
Premis sederhana, jadi
sebuah meditasi ruhiyah bagi jaman serbacepat kini. Seorang ayah migran Timur
Tengah yang telah jadi warga Prancis ingin naik haji lewat jalur darat dari
Paris ke Mekkah. Anak lelakinya mengantarkan dengan menggerutu. Di tengah film,
sang Ayah lembut menerangkan kenapa ia memilih jalur darat. Di bagian itu,
benak kita seakan disentuh air wudhu yang sejuk. Tapi, pertumbuhan hubungan
ayah anak yang telah beda budaya itu pun terasa mengharukan. Tak selamanya sang
ayah jadi sumber kearifan. Si anak, yang penuh berontak, juga adalah sebuah
sisi kekinian Islam yang tak bisa disisihkan begitu saja. Semakin ditonton,
semakin terasa sebuah rindu pada perjalanan kebatinan yang murni di masa
keberagamaan yang gaduh kini.
RED TURTLE (Sutradara:
Michael Dudok de Witt, produser: Toshio Suzuki)
Kerjasama Belanda dan
Jepang, dan kerjasama budaya itu terlihat pada gaya naratif visual animasi
memesona ini. Keheningan naratif Zen berpadu dengan gaya clear line yang halus. Dunia spiritual hadir dalam sunyi pulau,
mewujud jadi perempuan jelmaan kura-kura merah raksasa, menemani hidup seorang
lelaki yang terdampar di pulau entah. Seakan di pulau hening itu, sebuah dunia
tercipta dan melahirkan sangkan paran sendiri
tentang asal-usul semesta serta makhluk-makhluk di pulau itu. Bahkan semacam
metafora kiamat pun tiba, juga metafora evolusi generasi. Menonton animasi ini
adalah bermeditasi tentang lingkaran hidup manusia, seperti kisah klasik dari
Ibnu Tufail, Hayy Ibn Yaqzan, yang
jadi ilham novel Robinson Crusoe.
Rekomendasi:
Sebuah animasi pendek (sekitar 15 menitan) yang mengandung meditasi kesunyian
purba manusia juga patut ditonton: Adam
and The Dog, karya Minkyu Lee (USA, 2011)
THE COLOR OF PARADISE
(Sutradara: Majid Majidi, 1999)
Ada banyak film Iran periode
1990-an hingga pertengahan 2000-an yang bisa dengan mudah ditunjuk sebagai
layak tonton dalam kerangka Relaksasi Beragama. Kesukaan pribadi saya adalah Taste of Cherry (Abbas Kiarostami,
1997), tentang seorang lelaki Iran paruh baya yang mencari-cari orang yang mau
membantunya bunuh diri. Tapi, film-film Kiarostami secara umum memang sering
ditempatkan sebagai film-film "intelektual". Sementara, film The Color of Paradise ini lebih
"membumi", dan toh memang salah
satu film Iran terkuat dari periode itu, serta sesuai dengan semangat relaksasi
keberagamaan. Gambar-gambar yang indah, dan premis yang kuat –seorang anak buta
ingin sekali melihat Tuhan. Ayahnya merasa anaknya yang buta itu sebuah beban,
sementara si anak belajar melihat dunia pada seorang pemahat buta yang telah
tua.
MUALLAF (Sutradara: Yasmin
Ahmad, 2008)
Semua film Yasmin Ahmad dari
Malaysia adalah permata bagi semangat Relaksasi Beragama. Jika ingin mengenali
Malaysia dari sudut pandang progresif tapi bergaya lembut juga penuh humor ala
Yasmin, bisa dimulai dari trilogi Orked,
yakni Sepet, Orked, dan Mukhsin –yang
menggali drama cinta beda agama di negeri Islam yang konservatif. Jika ingin
punya perspektif lebih luas tentang Malaysia (bukan hanya ada ketegangan antara
etnik Melayu dan etnik Cina, tapi malah fokusnya antara lain ke etnik India)
sambil ketawa ngakak lalu seketika
menangis haru, silakan tonton film terakhir Yasmin, Talent Time. Tapi, film Muallaf
dipilih dalam daftar ini karena secara langsung masuk ke dalam isu apa makna menjadi seorang muslim? Cerita
berpusat pada dua gadis muslim yang lari dari kekerasan ayah mereka, lalu
diurusi oleh seorang guru sekolah beragama Katolik. Humor di sana-sini dalam
film ini, tapi tikungan pada plot tentang teruk dan gelapnya nasib kedua gadis
itu memberi bahan permenungan tentang pergulatan batin untuk menjunjung
kelembutan Islam yang tak selamanya mudah.
INHERIT THE WIND (Sutradara:
Stanley Kramer, 1960)
Diangkat dari kisah nyata
yang terjadi di Amerika pada 1925, tentang sebuah pengadilan yang hendak
menghukum seorang guru sekolah karena mengajarkan "Darwinisme", yang
sebenarnya adalah Teori Evolusi dari Darwin. Hollywood memang andal dalam
menghasilkan film-film drama pengadilan yang mengesankan. Keandalan itu tampil
penuh dalam film ini, yang sepenuhnya mengandalkan daya tarik perdebatan publik
tentang apakah mengajarkan Teori Evolusi dari Darwin sebuah tindakan terlarang
karena dianggap "bid-ah".
Film ini mensimulasikan perdebatan sains vs. agama, dengan sikap empatik pada
kedua belah pihak.
4049 Kali


