Oleh: Hikmat Darmawan
Terutama
beberapa bulan di awal semester kedua 2017, pikiran saya seperti lintah melekat
di gawai saya, selalu cemas jika ada pemberitahuan dari Facebook (FB), dari
grup-grup kolektor dan penjual buku dan benda lawas, apakah ada buku lawas yang
baru ditawarkan? Dan saya sekarang bisa dengan sangat impulsif menekan
"klik" (yang sebetulnya tanpa suara, hanya istilah) untuk mengirimkan
pesan, "Saya mau, ya", dan lalu transaksi dilanjutkan melalui inbox dan transfer dari ATM.
Sebelum
lebih jauh dengan pengakuan dosa ini, sebetulnya apa sih "buku loak" dan "buku lawas"
buat saya? Apakah keduanya sama persis?
Sepertinya,
ada nilai rasa yang beda antara istilah "buku loak", "buku
lawas", dan juga istilah lain seperti "buku langka", "buku
antik", atau "buku kuno". Ketika kita menyebut buku, atau
barang, "loakan", rasanya seperti menyebut dengan merendahkan: sebuah
benda bekas, dan nyaris berarti dibuang oleh pemiliknya. Nyaris, karena untuk
membuangnya, si pemilik lantas memberi harga, dan mending menjualnya dengan
harga biasanya rendah, sebagai "barang bekas".
Bekas. Bekas dipakai. Tak dibutuhkan
lagi. Tak ada nilai gunanya lagi. Tapi, semacam ada harapan, atau oportunisme
kecil, untuk tetap memberi harga pada barang buangan itu. Dan selalu bisa
terjadi, harga yang dipasang ternyata cocok bagi orang lain, yang masih melihat
ada nilai pada barang loakan itu.
Itu yang
menarik buat saya. Ada sebuah simetri. Seseorang membuang, seorang lain
mengambilnya. Seseorang menganggap tak ada nilai guna pada sesuatu, seorang yang
lain melihatnya masih atau bahkan sangat berguna. Keduanya bertemu pada harga,
juga pada tempat barang-barang loakan itu dijual.
Tak
selamanya simetri itu bersifat romantik. Majalah atau koran bekas dijual
sebagai barang loakan, barangkali harganya ditabal per kilogram, lalu dibeli
orang yang menganggap nilainya adalah untuk bungkus gorengan. Sering terjadi.
Bisa dibayangkan, jangan-jangan ada naskah asli komik Taguan Hardjo yang
dibuang cukong atau entah siapa, lalu jadi bungkus tahu goreng. Sebuah mimpi
buruk bagi seorang yang gemar mengoleksi barang "bersejarah" seperti
saya.
Tentu saja,
saya seorang kolektor yang masih amatir. Terutama, karena saya bukan orang
kaya. Uang saya tak cukup untuk bisa membeli sebuah buku atau naskah komik
asli, karya original, dengan harga puluhan juta rupiah. Tapi, tentu saja, apa
yang mampu saya dapatkan, saya anggap punya nilai "sejarah". Apa
sejarahnya, itulah sesuatu yang mengandung sesuatu yang biasa kita sebut
"relativitas".
Kata
"relativitas" seringkali disalahgunakan. Dalam fisika, kata itu
popular sekali sebagai teori utama Einstein, walau jarang yang benar-benar
paham apa tepatnya teori Relativitas Eisntein. Dalam wacana keagamaan dan
nasionalisme, relativitas dianggap sesuatu yang berbahaya –sebuah kata turunan
dari "relativisme", yang seringkali dipahami sebagai kepercayaan
bahwa "tak ada kebenaran mutlak atau hakiki" atau "semuanya
benar". "Relativisme" = "bebas nilai".
Relativitas
yang saya gunakan di sini, adalah keadaan ketika sesuatu itu hanya benar dan
salah ketika terikat atau terhubung pada sesuatu yang lain. Sesuatu bernilai,
bukan karena esensinya, bukan karena apa yang ada di dalam sesuatu itu sendiri,
tapi karena keterkaitan atau keterhubungannya dengan sesuatu yang lain. Dan
kata "bersejarah" yang saya sematkan pada sebuah benda/buku loakan
mengandung pengertian itu –sesuatu yang menjadi bernilai sejarah karena
kaitannya dengan sesuatu yang lain.
Barangkali,
kaitan itu adalah kenangan. Barangkali juga, kaitan itu adalah teks tentang
sesuatu. Barangkali, ada relasi yang terbentuk dalam kepala saya, sebuah pola,
yang mungkin tak dilihat oleh si penjual barang loakan yang memberi harga
rendah pada buku yang saya inginkan.
Buku yang
pertama kali saya beli melalui FB adalah edisi terjemahan seri Tom Swift terbitan Indira. Ini adalah sebuah seri
petualangan sci-fi dengan latar ruang angkasa untuk
remaja, terbit pada 1980-an, dan desain sampulnya mirip dengan seri Hardy Boys dan Nancy Drew yang saat itu juga diterbitkan terjemahannya oleh
penerbit Indira. Tentu, anak-anak semasa saya mengenal penerbit Indira sebagai
penerbit serial Tintin dan banyak sekali judul komik
Eropa.
Tahu-tahu,
ada sebuah akun FB, Poestaka Kalyana, yang menawarkan satu paket seri Tom Swift yang terdiri dari delapan judul. Harga semuanya,
Rp. 600 ribu. Untuk transaksi pertama kalinya lewat jalur FB, itu jumlah yang
cukup besar.
Perasaan
bahwa saya telah (berani) mengeluarkan uang cukup besar bagi sebuah paket buku
bekas (benarkah ini "buku bekas"?) melalui jalur online yang tak pernah membuat saya nyaman, adalah
seperti perasaan melintasi batas sebuah dosa. Begitu batas itu telah dilalui,
maka semua akan terasa lebih mudah. Sejak itu, saya jadi sangat sibuk mengikuti
tawaran-tawaran buku loakan di FB, dan seringkali secara spontan memesan
buku/barang yang ditawarkan, kadang hanya selang beberapa detik saja dari
notifikasi.
Padahal,
apa yang menarik dari seri Tom Swift? Apa yang mendorong saya
sedemikian rupa tertarik untuk membeli seri itu? Ya, saya memang menggemari
seri sci-fi, khususnya petualangan angkasa.
Saat saya melihat delapan novelnya ditawarkan di FB, saya segera terkenang
kesenangan saya waktu kecil ketika membaca novel itu. Seri itu salah satu yang
membawa saya kepada "dunia lain", dunia yang sama sekali ganjil dan
tak sama dengan keseharian saya saat itu.
Dan
kenangan akan "dunia lain" itulah yang segera menggigit begitu
melihat sampul seri Tom Swift. Saya ingat, dulu saya hanya
membacanya di tempat saudara saya. Sewaktu SD dan SMP, seringkali saat liburan
panjang, saya menginap di tempat saudara saya yang terkaya di antara keluarga
besar dari Ayah. Para sepupu saya itu punya perpustakaan pribadi yang buat saya
waktu itu besar juga. Banyak komik Eropa dan novel-novel remaja, yang belum
tentu mereka baca.
Sungguh surga buat saya, tenggelam dalam sekumpulan novel seri Elang dan seri Kancil terbitan Gramedia. Komik-komik seri Album Cerita Ternama, yang pada dasarnya adalah adaptasi komik untuk novel-novel klasik yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah dengan kurikulum Inggris dan Amerika. Komik-komik Eropa seperti Tintin, Yakari, seri Indian karya Hans G. Kresse, seri Achille Talon, seri Valerian, seri Lefranc, seri Asterix, seri Lucky Luke, dsb., terbitan Indira, Sinar Harapan, dan Aya Media Pustaka.
Juga novel-novel Agatha Christie yang mengasyikkan pikiran remaja saya. Di samping novel-novel karya Enid Blyton seperti seri Sapta Siaga, Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Mallory Towers (iya, saya ternyata gemar bacaan untuk anak perempuan!), dsb. Dan ya, novel-novel remaja terbitan Indira yang saya sebut-sebut tadi. Tentu saja saya menyukai seri Hardy Boys, dan diam-diam menyukai juga Nancy Drew. Kedua seri itu sama asyiknya dengan seri Trio Detektif, yang disebut-sebut sebagai "persembahan Alfred Hitchcock" (Alfred Hitchcock Present). Barangkali karena memberi rasa "Amerika" pada saya, yang sangat menggemari Agatha Christie dan Enid Blyton.
Saya tak
sadar sama sekali bahwa seri Hardy Boys dan Nancy Drew sebetulnya tak berlatar waktu semasa saya membaca
mereka, yakni 1980-an. Seri-seri itu sebetulnya pertama kali dibuat pada
1920-30-an di Amerika Serikat. Dugaan saya sekarang, seri kedua seri yang saya
baca terjemahan mereka itu adalah kisah-kisah dari 1950-an, tapi aslinya
diterbitkan ulang di Amerika sendiri pada 1970-80-an dan diambil oleh penerbit
Indira untuk diterjemahkan.
Yang juga
sangat menarik saya pada saat itu adalah sampul-sampulnya yang dilukis realis
dengan teknik lukisan (cat air atau cat minyak?), dengan menggambarkan cuplikan
adegan yang terasa sensasional. Waktu itu saya belum tahu gaya sampul demikian
mengakar pada tradisi desain novel-novel picisan Amerika, atau pulp fiction, yang popular pada 1920-an hingga 1950-an. Karena
sampul demikian pula, saya tertarik pada seri Tom Swift, dengan kisah-kisah petualangan ruang angkasanya.
Delapan
judul seri Tom Swift: Kota Angkasa Luar, Pesawat Ark Two, Misi Penolong, Pesawat Penjajak Asing, Pesawat Penjajak Asing, Kekuatan Gaib, Ledakan Matahari, Teror di Satelit Yupiter, Benteng Astral. Tak semuanya saya sempat baca pada masa kanak
saya. Para sepupu saya tak lengkap mengoleksi Tom Swift. Saya pun hanya mampu membeli satu judul, Pesawat Penjajak Asing. Selebihnya, hanya rasa penasaran.
Dan mungkin
saja, rasa penasaran itu yang mendera saya untuk meng-klik pemesanan seri itu lewat Facebook. Lewat
pertukaran pesan inbox FB, saya mendapatkan rekening si pedagang, dan
perjanjian bagaimana mengambilnya.
Rasa
penasaran semasa kecil berhasil terpenuhi. Ketika saya membaca sekilas, dan
agak penuh semangat, seri tersebut, ternyata seri itu tak semenarik yang saya
bayangkan. Tentu saja, ada faktor saya bukan remaja lagi (telah tua, malah,
dalam tolok ukur tertentu –46, usia saya saat membeli itu). Tak ada lagi kesan
"magic" atawa
"ajaib" dari novel-novel itu. Tak ada rasa ketakjuban yang
menerbitkan tanya besar –a sense of
wonder.
Tapi, tak
ada juga rasa sesal telah membelinya dengan harga cukup mahal untuk "barang
bekas". Barangkali malah ada rasa puas, karena saya mampu menutup bab masa
lalu saya, yang dulu tak mampu membeli lengkap seri tersebut.
Enam ratus
ribu rupiah. Harga yang lumayan mahal, untuk sesuatu yang ternyata tidak
terlalu saya sukai. Tapi, ada perasaan nyaman bahwa semua kini terkumpul
lengkap. Sebuah bab keinginan yang kecil dari masa kanak kini telah ditutup. Saya menang. Saya kini telah memiliki. Tapi, hasrat ingin memiliki itu memang binatang buas yang
sukar dijinakkan –sudah berapa abadkah manusia berhadapan dengan soal ini?
Agama-agama lahir, tatanan dibangun, aturan-aturan diterapkan, untuk mengatur
dan menertibkan hasrat manusia untuk memiliki.
Setelah Tom Swift, saya jadi lebih perhatian pada kegiatan berjualan buku-buku
loakan di dunia maya. Harga koleksi lengkap Tom Swift dari Indira menjadi penanda
bahwa buku-buku tersebut telah diperlakukan oleh penjualnya sebagai
"barang koleksi", dipasarkan pada para "kolektor".
Tapi, masih
banyak di FB yang menjual buku-buku dan majalah serta koran-koran lawas dengan
harga loakan: Rp. 10 ribu, 15 ribu, 20 ribu, atau 30 ribu. Saya jadi lebih
sering meng-klik kirim pernyataan saya mau, lalu
lanjut berkomunikasi via inbox, pergi ke ATM, transfer,
mengirimkan foto bukti transfer, lalu menerima kiriman dari para penjual buku
lawas dari Tanjung Priok, Bandung, Bogor, Malang, Semarang, Yogyakarta,
Surabaya, bahkan Bukit Tinggi, Sumatera.
Beberapa
dari mereka punya kios buku bekas di Jakarta, antara lain, di Blok M Square.
Lantai basement mal yang "merakyat" itu menjadi pusat
penjualan batu akik, bordir, piringan hitam, CD, kaset, dan buku bekas. Malah,
kecanduan saya terhadap buku-buku lawas (plus musik lawas) ikut meningkat
selama sepuluh tahun terakhir oleh adanya lantai basement Blok M Square tersebut. Saya kira, itu bisa jadi
cerita lain.
Yang menarik buat saya, bagaimana teknologi komunikasi terkini membuat praktik kecanduan belanja buku lawas itu bermigrasi ke Facebook (saya belum berani pakai platform digital lain, seperti Kaskus atau lapak-lapak buku loakan di Tokopedia, Bukalapak, OXL, atau Lazada).
Tepatnya,
bukan migrasi sih. Tapi, penambahan pilihan platform, yang menyebabkan saya mengalami intensifikasi dalam kegiatan
memilih dan membeli buku-buku lawas itu. Jika sebatas menelusuri Bursa Buku
Bekas di Blok M Square, saya bisa jadi berbulan-bulan tidak ke sana. Di masa
paling kerap, saya ke Blok M Square pun, paling hanya tiga kali dalam sepekan.
Sementara,
lewat gawai, kegiatan memelototi FB bisa sejak membuka mata dari tidur hingga
menjelang tidur di malam atau dini hari yang seringkali diiringi upaya nyaris
bikin frustasi untuk tidur. Dan di sela-sela, tangan meraih dan mata menangkap
layar setiap kali terdengar bunyi notifikasi dari FB lewat ponsel saya. Dan
rasanya, beberapa bulan tersebut, saya terdesak untuk selalu sigap.
Persaingan
dengan sesama kolektor atau pun pembeli acak, sungguh ketat. Hanya selang
beberapa menit saja, sebuah Cergam Medan yang baru nongol ditawarkan seharga barang lawas
biasa (padahal, bagi kolektor, barangkali sudah mencapai tiga, empat, atau
jangan-jangan sepuluh kali lipat dari harga itu) telah diambil orang dan
menyisakan rasa sesal yang cukup menggigit di ulu hati.
Pun ada
rasa puas, jika saya berhasil mendapatkan buku langka, atau buku yang sedari
dulu saya inginkan, kadang telah mengendap ke bawah permukaan ingatan, lalu
berjumpa lagi, melintas di linimasa FB dengan harga bisa jadi antara mahal dan
tidak.
(Bersambung ke: http://majalah.pabrikultur.com/gaya-hidup/76/bukuloak2)
2785 Kali