MENGUMPULKAN TANPA KLAIM DULU, Focus Group Discussion (FGD) Pemetaan Awal Cergam Medan
MENGUMPULKAN TANPA KLAIM DULU,  Focus Group Discussion (FGD) Pemetaan Awal Cergam Medan


Dalam sejarah komik Indonesia, "Komik Medan" atau "Cergam Medan" punya makna khusus. Orang-orang mengenang Cergam Medan sebagai sebuah aliran dan capaian yang menaikkan derajat komik Indonesia ke aras lebih tinggi.

"Dulu itu, nggak semua pembaca komik kenal Komik Medan. Tapi yang sudah cukup terasah membaca komik, biasanya akan ketemu Komik Medan dan menyukainya. Biasanya yang suka Komik Medan itu elite-nya penggemar komik," kata Arswendo Atmowiloto sambil tertawa, mengenang kegiatan masa mudanya membaca Cergam Medan bersama di Solo. Sastrawan dan jurnalis kawakan ini jadi salah satu narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Pemetaan Awal Cergam Medan, diadakan di Gedung Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, Sabtu, 13 Februari 2016 lalu.

FGD tersebut diselenggarakan Forum Cergam, sebuah forum cair yang anggotanya bersifat bebas dan tak mengikat. Keanggotaan Forum Cergam bisa berupa individu maupun komunitas atau organisasi. Untuk FGD Sabtu kemarin, Forum Cergam bekerjasama dengan Deskov IKJ, Pusat Kajian Naratif Visual, Akademi Samali, Majalah Baca Cergam, Cergamku Cergamku, dan Pabrikultur. Narasumber yang hadir selain Arswendo, adalah Seno Gumira Ajidarma, Koko Hendri Lubis, Henry Ismono, Andi Wijaya, Iwan Gunawan. Juga ada beberapa peserta aktif, antara lain akademisi seni grafis, Karna Mustaqim.

Ibarat perhelatan para pendekar, masing-masing narasumber memberi sumbangsih keping demi keping pemahaman baru tentang Cergam Medan berdasar keahlian masing-masing.

Koko adalah narasumber termuda, telah mendedikasikan diri untuk meneliti secara jurnalistik dan semi-akademik sejarah Cergam Medan selama beberapa tahun belakangan. Koko telah menghasilkan buku Komik Medan, Sejarah Perkembangan Cerita Bergambar di Indonesia. Dalam FGD ia bercerita bahwa saat ini ia sedang berkonsentrasi menulis biografi Taguan Hardjo. Yang menarik dalam paparan ketika FGD adalah ia membagikan temuannya tentang berbagai latar sejarah material kekaryaan Taguan: bagaimana ia bekerja dan menggunakan aneka teknologi grafis dan cetak pada masa ia hidup.

Dari teknologi stensil, cetak film, hingga teknologi yang lebih maju di Bandung pada awal 1970-an. Paparan Koko, yang jauh-jauh datang dari Medan untuk FGD, memberi dimensi menarik dalam sejarah Cergam Medan dan Cergam Indonesia secara umum. Andi Wijaya menanggapi lebih detail mengenai kekaryaan sekaligus persebaran Cergam Medan ke seluruh Indonesia. Hasil perlacakan Andi sebagai kolektor, Cergam Medan bahkan pada masa 1950-an hingga awal 1960-an telah sampai ke Manado.

Henry Ismono, dengan pengetahuan ensiklopediknya mengenai Cergam, mengupas beberapa aspek dari Cergam Medan. Soal kronologi sejarah, soal format, dan soal genre. Bagi Henry, format komik setrip yang kemudian dibukukan dengan ukuran memanjang (berformat landscape, mengikuti wujud komik setrip di koran yang jadi muasalnya) bukanlah satu-satunya format buku Cergam Medan. "Banyak kok ragam bentuk Cergam Medan. Ada yang seukuran cergam silat biasa, ada yang seukuran majalah…." Yang penting, bagi Henry, adalah ciri ketinggian mutu gambar dan susastra yang merata dalam khasanah Cergam Medan.

Henry secara khusus mengangkat peran Bahzar sebagai tokoh pelopor dalam sejarah Cergam Medan. Berlatar sebagai pelukis, Bahzar aktif mencipta komik aneka genre di Medan. Termasuk silat dan sci-fi, di samping petualangan rimba dan cerita misteri. Henry juga menceritakan kisah superhero ala Cergam Medan rekaan Bahzar, Kapten Halilintar. Berhubung latar bagi Kapten Halilintar bukan kota, tapi desa, dilema utama sang Superhero perkampungan itu adalah: tidak ada kejahatan di desa. Lalu, untuk apa dong jadi superhero? Dengan kocak, Henry menutur bagaimana sang superhero yang punya muasal klenik (batu akik ajaib di dalam kelapa) harus mencangkul sawah dulu sebelum beraksi.

Cerita Henry itu tambah membuat suasana FGD ringan dan gembira. Iwan Gunawan, kolektor dan aktivis komik kawakan yang sehari-hari adalah Direktur Pascasarjana IKJ, menambahkan usulan mengenai fokus penelitian pada industri media di Medan pada pertengahan abad ke-20 hingga akhir 1960-an, karena pertalian sangat erat antara Cergam Medan dan media massa seperti koran dan majalah di Medan. Dalam konteks itulah, format komik setrip yang dipertahankan ketika dalam bentuk buku menjadi penting diperhatikan.

Tentu saja, Cergam Medan memang tidak didefinisikan oleh formatnya. Yang jelas, relasi dengan sejarah media massa memang menjadi sebuah bagian penting kajian Cergam Medan ke depan. Wendo menyepakati lontaran Iwan Gunawan dan juga memujikan paparan-paparan sebelumnya, khususnya keterangan-keterangan Henry soal genre yang kaya dalam khasanah Cergam Medan.

Wendo menganjurkan agar, "kita kumpulkan saja dulu semua. Nggak usah pakai frame macem-macem dulu. Nggak usah pakai klaim apa-apa dulu. Apa adanya saja dulu."

Tentu Wendo tak menampik perhatian masing-masing peneliti Cergam Medan pada segi-segi khusus dari sejarah dan khasanah Cergam Medan. Tapi, sebagai kerja bersama, persiapan pameran di tahap ini agar berkepentingan mengumpulkan dulu saja semua keping mosaik Cergam Medan. Ketika ditanya apakah ada Top 10 seniman Cergam Medan menurut Wendo, ia menjawab: "Wah, kalau sepuluh sih adaa…." Lalu, ia pun menyebut nama-nama. Beberapa cukup mengejutkan.

Misalnya, Tino Sidin, ternyata pernah menerbitkan komik di penerbitan Medan. Lalu, ada Saleh Hasan yang hijrah ke Jakarta dan jadi "Godfather" Lembaran Bergambar (halaman komik) harian Pos Kota. Belum lagi, Delsy Sjamsumar, yang rentang kekaryaan visualnya sungguh luas. Dari uraian Wendo, tampak bahwa pengaruh Cergam Medan memang cukup penting dalam sejarah Cergam Indonesia.

Seno Gumira mengajukan beberapa pertanyaan yang penting dilanjutkan selama dan setelah pemetaan Cergam Medan disusun. Pertama, katanya, "mustinya ada yang juga memerhatikan aspek puitika Cergam Medan. Estetikanya. Bukan hanya kronologinya." Pendapat ini dikukuhkan oleh komentar Karna Mustaqim, pada sesi kedua, ketika mengomentari betapa salah satu ciri yang menonjol dari Cergam Medan adalah tekanan pada arsir dan bukan sapuan blok hitam dan chiaroscuro.

Di samping pertanyaan tentang puitika, atau aspek estetika dari Cergam Medan, Seno juga mengajukan pertanyaan lain yang penting: kenapa pada satu titik, Cergam Medan kemudian hilang dari pasaran, dan tidak dipercakapkan lagi dalam pembicaraan umum tentang komik Indonesia?

Yang jelas, beberapa pertanyaan dasar mulai tampak jawabnya. Misalkan, periode pasti Cergam Medan, bisa disepakati bahwa periode utama Cergam Medan adalah 1955-1965. Sebelum dan sesudah periode itu memang mencatat adanya publikasi terkait Cergam Medan, tapi dari koleksi yang telah terdata, sepuluh tahun tersebut memang bisa disepakati.

Nama-nama seniman Cergam Medan juga telah cukup terkumpul, khususnya di buku Koko Hendri Lubis. Bisa jadi, selanjutnya adalah memilih fokus pada beberapa seniman Cergam Medan terpenting. Koko sedang fokus pada Taguan. Henry menekankan kepeloporan dan keragaman karya Bahzar. Wendo selalu menjagokan Zam Nuldyn. Delsy pun dianggap penting, walau punya karakter artistik yang berbeda dari seniman Cergam Medan lainnya.

Semua pemetaan awal dalam FGD ini jadi langkah awal menuju Pameran Cergam Medan yang direncanakan akan dilaksanakan Oktober 2016 di Bentara Budaya Jakarta. Sebelum pameran, ada serangkaian penelitian, seminar, pameran kecil, dan penerbitan buku yang diharapkan bisa meluncur berbarengan dengan pameran. Pameran itu pun bukanlah sebuah akhir perjalanan. Ada terlalu banyak keping mosaik Cergam Medan yang masih bisa digali.

Boleh dibilang, Cergam Medan adalah sebuah keping penting mosaik budaya popular Indonesia yang juga bisa jadi dokumen sosio-kultural Indonesia modern pasca-Revolusi 1945. Menghidupkan kembali perhatian dan kajian terhadap Cergam Medan akan mengayakan pemahaman kita tentang apa yang jadi minat,  hiburan, percakapan, nilai, serta impian manusia Indonesia modern dalam kurun tertentu.

Dalam konteks itu, peran serta semua pihak sungguh diperlukan: akademisi, pekerja seni, penulis, birokrat, dan, yang juga sangat penting: kolektor komik Indonesia. Wendo mewanti-wanti, "Semua pihak seharusnya membantu. Kita harus mengecilkan ego kita masing-masing." ***

 

21 Februari 2016
Dilihat sebanyak
7478 Kali
Lainnya...
JAVANESE SILAT IN RETRO
JAVANESE SILAT IN RETRO
TOP 13 SCI-FI COMICS
TOP 13 SCI-FI COMICS
Pabrikultur © 2015