
Oleh:
Feby Indirani
Banyak
orang telah menulis dan mendiskusikannya (juga bangga bisa mencelanya), namun
mereka luput menyoroti hal penting ini dari Film Marlina.
Meskipun
‘hanya’ ditonton oleh sekitar 150 ribu orang, film Marlina: Si
Pembunuh dalam Empat Babak karya sutradara Mouly Surya adalah
salah satu film Indonesia yang paling banyak diresensi dan diperbincangkan pada
2017. Tentu saja karena film ini mendapat kesempatan untuk diputar di berbagai
festival film bergengsi juga menjadi nominasi atau bahkan penghargaan
internasional.
Mungkin
karena itu jugalah banyak peresensi atau komentator tanah air seolah begitu
puas jika dapat mengungkapkan hal-hal kecil yang dianggap janggal dari Marlina,
seperti kenapa bisa tiba-tiba ada kotak untuk tempat membawa kepala si
penjahat? Buah beracun yang dibubuhkan Marlina ke sup ayam itu sebetulnya buah
apa sih, kok aneh betul ada buah seperti itu? Atau, mana ada masakan sate di
Sumba?
Sementara
itu diskusi yang berkembang kerap memaparkan hal yang sepertinya terlalu jelas,
bahwa Marlina ingin menyampaikan perlawanan terhadap patriarki (dan ya,
matahari masih terbit dari Timur besok). Terlalu mudah pula melihat
Marlina sebagai figur ‘jagoan’, sosok heroin yang hendak
meruntuhkan kultur patriarki tersebut—tak banyak yang sadar bahwa kata ‘jagoan’
sendiri sudah bermasalah sejak awal dalam merepresentasikan ketangkasan,
ketegaran, dan keandalan seseorang. Kita bisa lihat dari asal katanya 'jago'
(seolah 'betina' berkualitas lebih rendah) maupun penggunaannya yang mengandung
bias gender dan terlalu mengagungkan maskulinitas.
Tulisan
ini hendak melihat Marlina dari sudut pandang yang berbeda.
Ya
baiklah, saya juga sempat mempertanyakan keberadaan kotak cantik yang tiba-tiba
mengemas kepala Marcus si pemerkosa Marlina. Lha bukannya sejak awal Marlina
menenteng kepalanya begitu saja? Tentu saja keberadaan kotak itu penting karena
di dalam perjalanan itu kemudian Marlina akan bertemu seorang anak kecil. Juga
karena kotak itu tampak bagus secara visual.
Perihal
kotak ini membuat saya mencatat kebiasaan sejumlah sutradara film Indonesia
yang kerap memilih (dengan sadar saya kira) untuk mengabaikan detail logika
demi mengejar estetika visual. Kotak pada Marlina ini setara dengan resepsi
pernikahan Reza Rahadian dan Laudya Chyntia Bella di Talak 3 di
tepi pantai dan kelihatan begitu mewah padahal dikisahkan Reza berasal
dari keluarga miskin dan Laudya dalam cerita itu pernah kaya, tapi tidak di
saat pernikahan keduanya. Atau perjalanan mobil Tiga Hari Untuk
Selamanya yang dilakukan Nicolas Saputra dan Adinia Wirasti yang jelas
lebih dari tiga hari demi mengejar gambar-gambar cantik (termasuk kaki jenjang
Adinia) padahal sejak awal ibu mereka sudah berpesan mereka mesti bergegas
untuk mengejar acara keluarga.
Tapi
sudahlah, terlalu naif sebetulnya untuk menganggap film Marlina ternoda
hanya karena sebuah kotak, karena banyak hal yang lebih menarik untuk
dibicarakan. Terutama, mengenai Marlina dan dua figur perempuan lainnya, Novi
teman Marlina yang hamil 10 bulan dan belum kunjung melahirkan, dan Yohana,
seorang ibu yang hendak berangkat ke sebuah resepsi.
Melalui
tiga karakter perempuan ini kita bisa menemukan karakter khas perempuan
Indonesia, khususnya -meskipun tidak tertutup hanya- kelas menengah
bawah. Perempuan Indonesia memiliki kemauan yang kuat dan persisten (tambeng)
dengan cara tersendiri. Pada canda sehari-hari kita biasa bilang, “Siapa berani
melawan emak-emak?” Dalam konteks negatif dan positif kita biasa menemukan
begitu banyak kejadian ketika kita akan berkomentar seperti itu.
Dalam
film Marlina, cobalah ingat ketika Yohana bersikukuh untuk naik ke
mobil angkutan karena ada acara yang hendak dikejarnya. Ia tak peduli ada
Marlina yang menenteng penggalan kepala yang menebarkan aroma busuk, dan ia
tenang saja menangani keadaan. Sementara Novi bersikukuh ingin pulang
melepas rindu pada suaminya, dan Marlina merasa ia harus melaporkan diri kepada
polisi. Baik Marlina, Yohana, dan Novi, masing-masing punya agenda sendiri dan
mereka tak tergoyahkan.
Yang
kedua, para perempuan Indonesia adalah mereka yang sigap menangani persoalan,
tanpa banyak berwacana, tak perlu panggung, dan tak perlu bernarasi
intelektual. Hal ini memang kerap merugikan bagi kaum perempuan sendiri dan
sering diteriakkan oleh perempuan kelas menengah yang sudah fasih bergaul di
panggung percaturan pemikiran. Namun kenyataannya perempuan-perempuan kelas
bawahlah yang lebih banyak bekerja, menyelesaikan pekerjaan kotor, dan
mengurusi semua orang.
Pada
konflik-konflik besar yang terjadi di Ambon dan Poso misalnya, perempuan dan
anak umumnya menjadi pihak yang paling rentan terdampak dan menjadi korban.
Kaum perempuan ini biasanya juga tak paham kenapa kampung mereka tiba-tiba
bertikai dan tetangga mereka saling tikam. Dalam perundingan-perundingan
antarkampung, para perempuan juga kerap diabaikan karena ada anggapan suara
mereka sudah diwakili oleh suami-suami dan para lelaki lain di kampung itu.
Tapi para perempuan ini adalah orang-orang yang paling banyak merampungkan
hal-hal, yang memastikan bahwa hidup dapat dan harus terus berjalan.
Mereka
memastikan keluarga mereka makan, punya tempat bernaung dan berlindung. Mereka
bergerak dengan apapun yang mereka punya, dan mereka melakukannya dalam
diam. Struktur dan sistem yang telah terbangun di sekitar mereka—apakah
itu patriarki yang terbungkus dalam adat ataupun agama—biasanya mereka terima
sebagai kepastian dan tidak mereka pusingkan. Tidak mereka kupas dan bahas di
meja-meja diskusi. Mereka tidak punya pretensi menjadi pahlawan, mereka hanya
menyelesaikan pekerjaan dan mengatasi masalah dengan cara yang mereka ketahui.
Hal
yang sama kita temui ketika krisis ekonomi parah mendera Indonesia tahun 1998.
Saat para suami mengalami PHK, para istri maju menggarap sektor informal,
berdagang dan berjualan apa saja agar keluarganya bisa makan. Dalam suasana
itu, gerakan Suara Ibu Peduli yang digagas Karlina Supeli dkk dengan
menyuarakan isu harga susu dan bahan pokok yang mahal adalah suatu gerakan yang
sangat efektif, karena langsung menghunjam ke jantung persoalan kehidupan.
Sederhana tapi nyata. Para perempuan bicara dengan bahasa yang konkret karena
prioritas mereka jelas, memelihara kehidupan. Mengelola kesejahteraan keluarga
mereka.
Saat
Marlina meracun para perampok yang masuk ke rumahnya, itu adalah cara
satu-satunya yang ia ketahui untuk melindungi diri. Memasak adalah ranah yang
ia kuasai dan menyimpan racun sebagai senjata rahasia adalah hal yang
tidak sulit dipahami, bukankah ia telah tinggal sebatang kara? Ketika ia
menebas kepala Markus yang memperkosanya, Marlina tidak hendak menjadi
‘jagoan’. Ia hanya terdesak untuk melakukan hal paling ampuh yang ia ketahui
untuk menuntaskan masalah.
Pilihan
menebas kepala adalah langkah yang masuk akal dan dekat dengan kehidupannya
sehari-hari. Tinggal di area peternakan dan memelihara banyak ternak, lazim
saja bagi perempuan seperti Marlina untuk menyembelih binatang sendiri sebelum
memasaknya. Sesuatu yang mungkin tak pernah dilakukan perempuan kelas menengah
seperti saya yang mimpi pun sulit membayangkan mesti memotong urat nadi leher
ayam yang tengah menggelepar di tangan.
Jika
Marlina adalah perempuan kelas menengah kota (khususnya di Jakarta), pilihan
yang lebih masuk akal mungkin pergi ke rumah sakit untuk visum dan melapor
kepada polisi. Tapi Marlina tahu bahwa ia hanya bisa mengandalkan
dirinya sendiri. Ia pun tidak punya siapa-siapa untuk dijaga, sehingga sikapnya
juga nothing to lose.
Karakter
ketiga khas perempuan Indonesia yang bisa kita temukan dalam film Marlina adalah
bagaimana cara para perempuan membangun jejaring demi bertahan hidup,
yang terbangun secara organik dan hampir seperti otomatis. Perempuan
terbiasa, terlalu terbiasa mengembangkan jejaring di sekitar hidupnya yang
bekerja dua arah secara simultan. Kenapa bisa begitu?
Sebab
pertama, perempuan memang lebih peduli pada keadaan di sekitarnya. Dengar
bagaimana Novi mengejar dan berkata, “Marlina kenapa? Kau tidak percaya pada
saya?” padahal ia tahu akan terlibat dalam suatu masalah. Atau bagaimana
Yohana langsung memberikan saran kepada Novi tanpa diminta supaya ia bisa cepat
melahirkan. Semua terjadi karena perempuan sudah terlatih memperhatikan dan
merawat orang-orang (dan benda-benda) di sekitarnya. Selain mengamati tiga
perempuan dewasa pada Marlina, kita bisa menemukan perilaku khas ini pada
sosok anak perempuan bernama Topan yang ditemui Marlina di warung makan.
Perhatikan bagaimana Topan dengan cepat melayani Marlina sebagai pembeli dan
membangun hubungan dengannya.
Kedua,
perempuan paham (secara intuitif) ia selalu butuh support system untuk
membantunya mencapai tujuan. Karena bagaimana mungkin kita bisa menang di dalam
sistem yang serba patriarki ini? Jawabannya, tidak. Kita tidak akan menang,
tidak dengan standar kemenangan patriarki. Dan memang tidak perlu.
Ini
lah yang banyak orang luput melihatnya dari film Marlina, yang
dengan mudah dipandang sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap patriarki.
Marlina dan para perempuan Indonesia sesungguhnya tidak memiliki pretensi
melawan, kita para perempuan Indonesia sudah berabad-abad lamanya sneaking
around—menelikung, mencari cara-cara tersendiri untuk mencapai tujuan kita
dan merayakan kemenangan-kemenangan pribadi, meski dunia tidak selalu menyadari
dan mengakui--boro-boro merayakan-- kemenangan tersebut.
Dan
itulah persisnya yang banyak orang luput dari narasi yang dihadirkan film Marlina.
1812 Kali


